Pendahuluan
Didalam menyongsong masa depan pada umumnya orang sependapat bahwa tidak
ada sesuatu yang pasti. Para ahli dapat saja membuat berbagai ramalan atau
prediksi namun akurasi dari ramalan atau prediksi tersebut tidak dijamin. Dalam
keadaan yang sedemikian, sesuatu yang pasti adalah perubahan atau change itu
sendiri. Perubahan terjadi secara terus-menerus dalam skala dan intensitas yang
semakin meningkat. Khususnya dalam dua tiga dekade terakhir ini, perubahan
tersebut telah terjadi dalam skala dan intensitas yang sangat tinggi. Pendorong
utama dari perubahan ini adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan yang sangat pesat dalam pemahaman kita tentang dunia diterapkan dan
dikembangkan secara cepat dan meluas dalam berbagai bidang seperti industri,
pertanian, kedokteran dan jasa. Berbeda dengan masa sebelumnya, tingkat
kecepatan yang membawa perubahan ini, menembus batas-batas nasional (footloose). Dengan demikian, ilmu
pengetahuan, teknologi dan pengetahuan manajerial cepat menyebar sehingga
menambah jumlah bangsa yang memiliki kemampuan teknis untuk produksi dan
rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh kemampuan teknis untuk produksi
dan rekayasa. Hal ini lebih dimungkinkan lagi oleh kemampuan dan kecepatan
komunikasi misalnya dalam bidang transportasi, satelit dan jaringan komputer.
Oleh karena itu, cakupan dari berbagai kegiatan produksi termasuk penelitian,
rekayasa, produksi dan pemasaran dalam banyak sektor industri telah berkembang
menjadi global. Dengan demikian, kemampuan teknologi jauh lebih menyebar di
kalangan negara-negara industri maupun di negara-negara yang sedang mengalami
proses industrialisasi. Hal ini sekaligus mengakhiri peranan tunggal Amerika
Serikat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keunggulan teknologi dan
industri Amerika Serikat sampai dengan permulaan dekade 1970-an menyebabkan
arus teknologi berlangsung satu arah yakni dari Amerika Serikat ke negara lain
di dunia. Akan tetapi sejak pertengahan dekade 1970-an pola tersebut telah
berubah menjadi pola multi arah.
Sejalan dengan hal tersebut, telah
terjadi pula perubahan pesat di bidang sosial budaya masyarakat. Kriteria
mengenai pembangunan sosial yang sebelumnya bersifat lokal berkembang menjadi
kriteria yang bersifat global. Pendidikan merupakan faktor utama yang
menggerakkan perubahan yang terjadi tersebut. Dan dalam bidang pendidikan
ukuran mengenai perkembangannya mengikuti standar internasional. Kecenderungan
yang serupa terjadi pada bidang apresiasi budaya di mana terlihat kebangkitan
kembali kesadaran akan seni dari berbagai anggota masyarakat di dunia (the art
boom). Telah merupakan pembicaraan umum bahwa apa yang diuraikan di atas
merupakan sebagian dari karakteristik era yang akan dihadapi di dalam abad
mendatang yaitu era globalisasi. Dalam makalah ini, akan ditelaah mengenai
kompleksitas era globalisasi ini dan peranan pendidikan didalamnya.
Globalisasi
Perubahan yang terjadi dan melanda
dunia setelah masa Pencerahan
(Aufklarung) lazim disebut modernisasi. Banyak definisi diberikan
mengenai modernisasi ini. Sejak pertengahan abad ini, berbagai ahli telah
mengartikan modernisasi sebagaimana terlihat dalam definisi berikut:
Modernization is a type of social
change directed by a rational belief whereby new social roles and new inter
relationship among roles emerge. Modernization refers to those social changes
that generate institutions and organizations like those found in advanced
industrial societies. (Feldman A.S. and Hurn C, ..., p....) The term
"modern" has many denotations and carries a heavy weight of
connotations. It is applied not only to men, but to nations, to political
systems, to economies, to cities, to institutions such as schools and
hospitals, to housings, to clothes, and to manners. (Inkeles, Smith & David
H., 1974, p. 15) Sedangkan Anthony Giddens (1990), seorang pakar sosiologi
modern,menyatakan bahwa: Modernity refers to modes of social life or
organizations which emerged in Europe from about the twentirth century onwards
and which subsequently became more or less worldwide in their influence.
Pada dasarnya definisi tersebut di atas
menghubungkan modernisasi dengan suatu periode waktu dan dengan suatu lokasi
geografis, dimana karakteristik utama dari proses ini tidak terungkap. Pada
mulanya, terminologi ini muncul sebagai akibat upaya sekelompok ahli
pembangunan di Amerika Serikat untuk mengembangkan suatu alternatif terhadap
pendekatan Marxis mengenai pembangunan sosial. Dari sudut pandang sosiologi,
teori modernisasi menjelaskan modernisasi dengan merujuk pada awal mula dari
proses yang disebutkan Talcott Parsons sebagai differensiasi struktural. Ini
adalah proses yang dapat didorong oleh berbagai cara, namun yang sangat mungkin
disebabkan oleh perkembangan teknologi atau nilai-nilai. Sebagai akibat dari
proses ini, lembaga/institusi berlipat ganda, struktur yang sederhana dari
masyarakat tradisional ditransformasikan ke dalam struktur yang kompleks dari
masyarakat modern, dan nilai-nilai berkembang menyerupai apa yang terdapat di
Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Dalam alur berpikir ini, maka modernisasi
dapat dilihat baik sebagai proses maupun suatu keadaan. Dan lazimnya keadaan modern
dilihat sebagai lawan dari keadaan tradisional. Pendekatan ini banyak
mempengaruhi pendekatan pembangunan yang diterapkan oleh banyak negara,
khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan pendekatan
tinggal landasnya.Kalau kita mencermati karakteristik masyarakat modern, maka
nyatalah bahwa terdapat pula karakteristik tradisional di dalamnya, demikian
pula sebaliknya. Dengan demikian referensi waktu dan tempat tidaklah tepat
untuk membedakan tradisional dan modern; yang sesuai ialah pemahaman secara
kontekstual. Seperti disebutkan oleh Giddens (1996) bahwa setiap phase
perubahan itu mempunyai hakikat yang khusus
(intrinsic nature). Selanjutnya Giddens mengatakan: "Obviously
there are continuities between the traditional and the modern, and neither is
cut of whole cloth; it is well known how misleading it can be to contrast these
two in too gross a fashion". (1965, P.4).
Dalam alur pikir ini pulalah sehingga
dalam perkembangan selanjutnya, khususnya menjelang akhir abad ke-20, muncul
pendapat dari sekelompok ahli yang berbicara mengenai era pasca modernisasi
atau Post-modernity (Jean-Francois Lyotard, 1985).Nampaknya, masalah utama yang
menyebabkan berbagai perbedaan pendapat tentang perubahan sosial yang terjadi
ini ialah karena kita peristiwa-peristiwa yang kita sendiri tidak sepenuhnya
memahaminya. Dengan demikian, untuk memahami hal-hal ini tidak cukup dengan
sekedar menciptakan terminologi baru seperti pasca modernisasi dan sebagainya,
akan tetapi lebih tepat kalau kita menelaah kembali hakikat dari modernisasi
itu sendiri.
Demikianlah dengan perubahan dalam
kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat pesat, maka muncullah
pendapat bahwa era yang akan kita hadapi dalam abad mendatang adalah era
globalisasi. Intinya adalah bahwa segala kegiatan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat berlangsung secara global. Dalam hubungan ini
Robertson(1992) merumuskan globalization sebagai "... the compression of
the world and the intensification of consciousness of the world as a whole".
(Robertson, R., 1992, p.8).Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa globalisasi
menyangkut munculnya sistem budaya global. Budaya global ini dibawa oleh
berbagai perkembangan sosial, budaya dan teknologi (misalnya kehadiran sistem
informasi melalui satelit dunia), kehadiran pola global mengenai konsumsi dan
konsumerisme, pengembangan gaya hidup
kosmopolitan, munculnya olahraga global (seperti
olimpiade, kompetisi sepakbola dunia dan lain-lain), penyebaran wisata dunia,
menurunnya kedaulatan negara bangsa (nation state), perkembangan sistem militer
global, pengenalan tentang krisis ekologi berskala dunia, perkembangan masalah
gangguan kesehatan berskala dunia
(seperti AIDS), berperannya sistem politik dunia seperti PBB, gerakan
politik dunia seperti Marxisme dan Kapitalisme, peningkatan kesadaran akan HAM,
serta semakin intensifnya antar agama dunia. Intinya, globalisasi menyangkut
kesadaran baru bahwa dunia adalah satu tempat tinggal. Globalisasi disebutkan
pula sebagai "the concrete structuration of the world as a whole",
yakni kesadaran yang berkembang pada tingkat global bahwa dunia adalah sebuah
lingkungan yang dibangun secara berkelanjutan. Dengan demikian, globalisasi
lebih dari sekedar sosiologi hubungan international. Juga berbeda dari teori
sistem dunia (world system theory) yang menganalisis perkembangan dari kesaling
tergantungan ekonomi global dan yang mengklaim bahwa budaya globalisme adalah
sekedar konsekuensi dari globalisasi ekonomi. Juga perlu dihindari pemahaman
globalisasi dari thesis awalnya yang mengatakan bahwa globalisasi adalah
"convergence of nation states towards a unified and coherent form of
industrial society". Teori yang mutakhir mengatakan globalisasi terdiri
dari dua proses yang bertentangan yakni homogenisasi dan diferensiasi dan bahwa
terdapat interaksi yang kompleks diantara lokalisme dan globalisme, dan bahwa
terdapat gerakan yang kuat melawan proses globalisme. Argumentasi tersebut di
atas penting untuk sosiologi tradisional yang terus memfokuskan diri pada
nation state dibandingkan dengan fokus terhadap dunia sebagai suatu sistem
masyarakat.
Dalam ungkapan yang lain Kotter (1995)
mengatakan: Globalization is the product of many forces, some of which are
political (no major was since 1945), some of which are technological (faster
and cheaper transportation and communication), and some of which are economic
(mature firs seeking growth outside their national boundaries) (p. 42)Lebih
jauh lagi, Robertson yang mengkonsepsikan phase sejarah ke dalam beberapa phase,
menempatkan tingkat kepadatan dan kompleksitas global dalam tingkatan yang
tinggi. Phase-phase sejarah Robertson adalah sebagai berikut:
Phase I: Phase
awal (The Germinal Phase).
Phase ini berlangsung di Eropa dari
permulaan abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-18. Pada phase ini terjadi
pertumbuhan awal komunitas nasional dan pemekaran sistem transnasional abad
pertengahan; pengembangan wawasan gereja Katolik, penekanan konsep individu dan
ide tentang kemanusiaan; munculnya teori Heliosentrik tentang dunia dan
permulaan dari geografi modern; serta penyebaran kalender Gregory.
Phase II: The Incipient Phase.
Phase ini berlangsung pada dasarnya di
Eropa dari pertengahan abad 18 sampai dengan tahun 1870-an. Pada phase ini
terjadi peralihan yang tajam ke arah ide homogenitas, dan negara kesatuan;
kristalisasi konsep-konsep hubungan internasional yang formal, kewarganegaraan
individu yang baku, dan konsepsi kemanusiaan yang lebih konkrit; peningkatan
yang tajam dalam konvensi-konvensi yang legal dan agen-agen yang menyangkut
aturan-aturan komunikasi internasional dan transnasional; serta terjadinya
ekshibisi internasional. Pada phase ini pula mulai timbul masalah mengenai ijin
masuk masyarakat bukan Eropa ke dalam masyarakat internasional, serta masalah
nasionalisme dan internasionalisme.
Phase III: Phase Tinggal Landas (The Take-Off
Phase).
Terjadi diantara tahun 1870-an sampai
dengan pertengahan tahun 1920-an. Tinggal landas di sini merujuk pada satu
periode dimana terjadi kecenderungan globalisasi daripada periode sebelumnya ke
arah satu bentuk tunggal yang berpusat pada 4 butir rujukan, yakni: masyarakat
nasional, generic individuals (dengan bias pria), masyarakat international yang
tunggal, serta konsepsi kemanusiaan yang semakin cenderung tunggal tetapi tidak
bersatu. Phase ini merupakan awal mula munculnya masalah modernisasi konsepsi
global yang semakin berkembang tentang kerangka yang benar mengenai masyarakat
nasional; munculnya ide tentang identitas nasional dan pribadi; pengikutsertaan
sejumlah masyarakat bukan Eropa ke dalam masyarakat internasional; serta
formalisasi internasional dan upaya implementasi ide tentang kemanusiaan. Pada
phase ini juga terjadi globalisasi batasan-batasan imigrasi, peningkatan yang
sangat tajam dalam jumlah dan laju bentuk global komunikasi, munculnya
novel-novel internasional yang pertama, bangkitnya gerakan oikumene, serta
pengembangan kompetisi-kompetisi global seperti olimpiade dan hadiah Nobel.
Penerapan waktu dunia dan kalender Gregory, serta Perang Dunia I juga terjadi
pada fase tinggal landas ini.
Phase IV: The Struggle for Hegemonic Phase.
Phase ini berlangsung pada pertengahan
sampai dengan akhir tahun 1920-an. Pada phase ini timbul perselisihan dan
perbedaan pendapat mengenai proses globalisasi yang terbentuk pada akhir
periode tinggal landas. Pada phase ini juga terjadi pendirian Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) penetapan prinsip kedaulatan Nasional, perbedaan konsepsi
tentang modernitas yang diikuti oleh puncak perang dingin (perselisihan di
dalam proyek modern) serta kristalisasi dunia ke-3.
Phase V: The Uncertainty Phase.
Dimulai sejak akhir tahun 1960-an dan
menunjukkan kecenderungan-kecenderungan krisis pada akhir tahun 1990-an. Pada
tahun 1960-an ini terjadi peningkatan kesadaran global, pendaratan di bulan,
penekanan terhadap nilai-nilai pasca materialisme, berakhirnya perang dingin,
dan penampakan masalah hak-hak asasi serta akses yang meluas terhadap senjata
nuklir.
Trend Perkembangan Pendidikan di Dunia
Pembaharuan dalam bidang pendidikan merupakan
suatu karakter dunia modern. Hal tersebut pada dasarnya berkisar pada persepsi
bahwa pendidikan merupakan menara gading dan bahkan pelopor pembaharuan. Segi
kognitif pendidikan tetap mendapatkan prioritas yang tinggi dalam proses
pendidikan, namun masalah integrasi proses dan hasil belajar dengan kehidupan
yang nyata dan dengan masa depan semakin meminta penekanan-penekanan baru.
Khususnya kurikulum pendidikan, seyogyanya dirancang untuk memberikan
pengalaman-pengalaman yang merangsang peningkatan kreativitas, intelektualitas,
dan daya analisis. Kurikulum harus menyajikan hal-hal yang praktis dan
disesuaikan dengan latar belakang kehidupan yang bervariasi, tujuan hidup yang
berbeda, serta daya pemahaman terhadap persoalan yang berbeda pula. Pendidikan
harus dapat menyajikan kesempatan-kesempatan untuk berbuat dan bertindak
berdasarkan apa yang dipahami seseorang maupun kesempatan untuk berteori
tentang solusi yang ideal dari berbagai masalah. Dengan singkat, kurikulum
harus dapat diperkenalkan kepada anak didik dengan berbagai cara belajar maupun
berbagai jenis pengetahuan. Pada gilirannya hal-hal ini mampu mempersiapkan
anak didik untuk merencanakan masa depannya dan masyarakatnya, serta berperan
aktif dalam merealisasikannya. Revolusi dalam bidang pendidikan mencakup segi
kuantitas dan kualitas. Sejalan dengan pertumbuhan dalam bidang ekonomi yang
berubah secara pesat, revolusi pendidikan pada akhirnya diarahkan
untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian,
maka segi pemerataan dalam bidang pendidikan memegang kunci yang penting.
Dari segi kuantitas, pemerataan
pendidikan ini telah berlangsung secara mengesankan didalam dua dekade terakhir
ini. Di banyak negara, dari segi ratio pendidikan untuk anak didik pada tingkat
pertama, terlihat bahwa pada periode tersebut ratio tadi telah mencapai sekitar
100%. Khususnya untuk sebagian besar negara-negara Pasifik, sejak tahun 1984
laju pendaftaran pada tingkat pertama pendidikan telah melebihi 90%. Bagi
Indonesia, Nicaragua, Thailand dan Honduras, laju tersebut telah meningkat dari
80% menjadi 100% antara tahun 1975 dan tahun 1984. Untuk jenjang kedua
pendidikan, kecenderungan peningkatan terjadi pula di negara-negara Pasifik.
Peningkatan yang menonjol adalah peningkatan yang terjadi di Korea, Hongkong
dan Meksiko. Sedangkan di negara-negara industri maju, laju pendaftaran pada
tahun 1984 telah melebihi 80%, kecuali di Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan
Korea yang telah melebihi 90%. Pada tingkat pendidikan tinggi kecenderungan
yang sama terjadi di banyak negara-negara Pasifik, di Thailand, Korea, dan
Philipina. Di negara-negara industri maju, laju pendaftaran mahasiswa untuk
pendidikan tinggi berkisar pada satu dari dua sampai empat orang.
Laju pendaftaran yang tertinggi terjadi
di Amerika Serikat dan Kanada dengan ration 1 : 2 diikuti oleh Ekuador dan
Philipina dengan perbandingan 1 : 3.
Dari segi kualitas pendidikan, pada
dasarnya ditandai dengan meningkatnya pelaksanaan penelitian-penelitian
khususnya penelitian dasar (basic research). Hasil penelitian-penelitian
tersebut telah terpadu dalam perkembangan teknologi yang merupakan kekuatan
pendorong utama dari perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat. Skala
dan percepatan perkembangan teknologi ini merupakan kekhususan dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Skala perubahannya melampaui batas-batas
konvensional, seperti batas nasional negara dan sebagainya, serta percepatannya
mengikuti deret ukur. Peningkatan penelitian terlihat dari jumlah dana yang
disediakan oleh negara-negara industri maju untuk penelitian. Jerman Barat
misalnya, pada tahun 1971 mengalokasikan anggaran penelitian sebesar 2% dari
GNP dan pada tahun 1987 meningkat menjadi 3%. Dana penelitian Jepang pada
periode yang sama mengalami kenaikan sebanyak 1% pula. Pola yang sama berlaku
di dalam peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan. Antara tahun 1965 sampai
dengan tahun 1987, telah terjadi peningkatan jumlah peneliti dan ilmuwan
(dilihat dari jumlah total tenaga kerja). Di banyak negara, Jepang misalnya,
pada tahun 1965 memiliki 25 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja dan pada tahun
1980 telah meningkat menjadi 70 ahli dari sepuluh ribu tenaga kerja. Perancis,
Inggris dan Jerman Barat juga mengalami peningkatan meskipun dalam skala yang
lebih kecil. Amerika Serikat secara konsisten pada periode yang sama memiliki
65 - 70 orang peneliti dan ilmuwan per sepuluh ribu tenaga kerja.
Keadaan tersebut di atas telah membawa
iklim baru dalam hubungan antara pendidikan dengan perusahaan. Kecenderungan
keterlibatan perusahaan didalam proses pendidikan semakin menonjol.
Keterlibatan ini tidak terlepas dari ketidaksesuaian yang terjadi diantara
dunia pendidikan dan dunia kerja. Apa yang disiapkan oleh pendidikan dan apa
yang dibutuhkan oleh dunia kerja tidak sepenuhnya sesuai. Begitu besar
ketidaksesuaian tersebut sehingga dunia usaha merasa terpaksa harus memasuki
arena pendidikan secara besar-besaran. Tamatan perguruan tinggi sekarang yang
tidak siap merupakan beban perusahaan di masa yang akan datang. Untuk itu
perusahaan-perusahaan menyelenggarakan pendidikan tambahan sebagai perbaikan
terhadap kekurangan tersebut. Disamping itu, pengusaha-pengusaha ikut terlibat
sebagai tenaga pengajar di dalam lembaga pendidikan serta memberikan donasi
dalam bentuk uang atau peralatan pendidikan.
Lebih daripada itu,
perusahaan-perusahaan telah pula mempelopori lembaga pendidikannya sendiri.
Tercatat lebih dari 25 perusahaan di Amerika melaksanakan pendidikan yang
memberikan gelar. Perusahaan Wang, North trop, Arthur Andersen dan Humana
memberikan gelar Master, dan Rand Coorporations memberikan gelar Ph.D., bukan
hanya untuk karyawannya tetapi juga untuk umum. Tercatat lebih dari 400 kampus
dan banyak gedung yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan seperti Xerox, IBM,
Pizer dan Control Data. IBM, sebuah raksasa pendidikan, menghabiskan sekitar US
$700.000.000 setahun untuk pendidikan karyawannya. Meskipun nampaknya
perusahaan-perusahaan cenderung untuk bertindak sebagai saingan di bidang
pendidikan, namun hubungan diantara perguruan tinggi dengan perusahaan menjadi
semakin kuat.
Perguruan tinggi, pada pihak yang lain,
cenderung untuk beroperasi sebagai perusahaan. Beberapa faktor di dalam
pengelolaan perguruan tinggi telah mendorong hal ini. Misalnya, biaya
pengelolaan perguruan tinggi yang semakin tinggi, bantuan pemerintah yang
semakin mengecil, dan kompetisi memperoleh mahasiswa yang semakin meningkat.
Oleh karena itu, para pengelola perguruan tinggi harus berpikir ekonomis dengan
meningkatkan spesialisasi, pemasaran, dan perencanaan strategisnya. Dalam
rangka spesialisasi ini perguruan tinggi akan memusatkan perhatian pada
bidang-bidang ilmu yang mempunyai keuntungan komperatif (comperatif advantage).
Hal ini dapat berarti menghilangkan program pendidikan untuk bidang ilmu yang
kurang laris. Pertanda yang lain mengenai kecenderungan perguruan tinggi
sebagai perusahaan adalah kecenderungan mengambil atau memilih rektor/presiden
universitas yang mempunyai latar belakang sebagai usahawan. Trinity University
di San Antonio Amerika Serikat (satu universitas yang tidak terkenal
sebelumnya) merupakan contoh bagaimana peranan presiden universitas tersebut
meningkatkan popularitas universitasnya untuk termasuk 10 besar dalam hal
mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi nasional (national merit). Sebagai bekas pengusaha,
presiden universitas tersebut menyediakan beasiswa sebesar US $ 5000 setahun
bagi mahasiswa berprestasi dan meningkatkan gaji dosennya sekitar 60%.
Kecenderungan lainnya ialah perguruan
tinggi telah berupaya pula mengembangkan usaha-usaha yang menghasilkan uang
untuk pengelolaan perguruan tinggi tersebut. Usaha-usaha tersebut dapat berupa
penyewaan ruangan bagi perusahaan-perusahaan untuk mengadakan pertemuan,
melakukan jasa-jasa lain yang menghasilkan pendapatan, dan sebagainya. Secara
singkat, sifat kewiraswastaan semakin
berkembang di kalangan pengelola perguruan tinggi.
Kecenderungan Pendidikan Tinggi di Indonesia
Dibandingkan dengan negara tetangganya,
pengalaman Indonesia dalam pendidikan tinggi termasuk yang paling singkat.
Kedua perguruan tinggi induk di Indonesia yakni Universitas Indonesia (UI) dan
Universitas Gajah Mada (UGM) baru dibentuk secara resmi pada tahun 1950. Akan
tetapi dalam waktu yang relatif singkat perkembangan pendidikan tinggi dan
lingkungannya telah cukup mengesankan.
Dari segi kuantitas, jumlah perguruan
tinggi negeri di seluruh Indonesia adalah sebanyak 48 buah dan menampung
sekitar 0,5 juta Mahasiswa serta 40.000 tenaga pengajar. Perguruan tinggi
swasta lebih banyak lagi jumlahnya dengan kapasitas menampung mahasiswa dan
tenaga pengajar yang lebih besar pula. Angka partisipasi perguruan tinggi
(persentase jumlah mahasiswa perguruan tinggi terhadap penduduk berumur 19 - 24
tahun) adalah sebanyak 5,3% pada tahun 1983 - 1984, meningkat menjadi 8,5% pada
tahun 1988 - 1989, dan mencapai 11% pada
tahun 1993 - 1994 (Tilaar, H.A.R., 1994). Dilihat dari ratio pendaftaran mahasiswa untuk tingkat
perguruan tinggi telah terjadi
peningkatan yang mengesankan dalam dua dekade terakhir ini. Meskipun
peningkatan ini mengesankan akan tetapi belum semua lulusan SLTA tertampung di
lembaga pendidikan tinggi setiap tahunnya.. Pada tahun 1988 - 1989 tercatat 48%
jumlah lulusan SLTA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan diduga
jumlah ini akan meningkat menjadi 52% pada akhir REPELITA V.
Dari segi kualitas, upaya meningkatkan
mutu pendidikan tinggi terus dilakukan. Terobosan utama sehubungan dengan ini
ialah peralihan sistem pendidikan tinggi dari sistem paket (tradisi eropa
kontinental) menjadi sistem kredit (tradisi Amerika) yang dimulai sejak
permulaan dekade 1980. Efektivitas peralihan sistem ini masih akan terus diuji
oleh pengalaman mengingat tradisi pendidikan Indonesia sejak tingkatan sekolah
dasar yang berorientasi pada sistem pendidikan Belanda. Namun mengingat pendidikan
tinggi di Indonesia yang singkat tersebut, maka harapan untuk keberhasilan
dalam meningkatkan mutu pendidikan selalu ada.
Ditinjau dari latar belakang mahasiswa
yang masuk ke perguruan tinggi, kecenderungan pemerataan telah mulai nampak.
Pemuda-pemuda dari latar belakang sosial ekonomi rendah dan dari daerah-daerah
berhasil memasuki perguruan-perguruan tinggi negeri pembina seperti Institut
Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah
Mada (UGM). Perguruan tinggi mulai menampakkan keterbukaan dan lebih
mementingkan prestasi. Ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri seperti
SIPENMARU dan PMDK yang telah dipraktekan selama beberapa tahun merupakan
indikator mengenai hal ini. Di kalangan tenaga pengajar upaya meningkatkan
prestasi atau mutu cenderung meningkat. Hal itu terutama disebabkan oleh
persaingan menjadi tenaga pengajar mulai ketat. Selain itu semakin banyaknya
dosen muda yang melanjutkan pelajaran mendapatkan S2 dan S3 di dalam negeri
maupun luar negeri yang merupakan insentif bagi tenaga dosen senior untuk
meningkatkan pengetahuannya dan mutu materi kuliahnya.
Penataan bidang ilmu yang diajarkan di
perguruan tinggi mulai dilakukan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan.
Bidang ilmu sosial yang paling "laris" dan menampung jumlah mahasiswa
yang sangat banyak mulai ditertibkan. Untuk membuka suatu perguruan tinggi yang
baru sekarang ini dibutuhkan minimum 2 fakultas dalam bidang ilmu eksakta.
Pembukaan politeknik diberikan peluang yang besar.
Dalam pengelolaan perguruan tinggi,
kecenderungan untuk semakin meningkatkan usaha wiraswasta semakin menonjol. Hal
ini khususnya terlihat pada perguruan tinggi negeri yang selama ini didukung
pembiayaannya melalui anggaran pemerintah. Sedikit demi sedikit terlihat pelepasan
tanggung jawab pengelolaan dari pemerintah kepada masing-masing perguruan
tinggi. Dalam hubungan itu keterkaitan perguruan tinggi dengan usaha swasta
mulai menampakkan dirinya. Kontrak di bidang penelitian dan pendidikan antara
usaha swasta dan perguruan tinggi mulai dilaksanakan. Minat para pengusaha
pribumi terhadap pendidikan telah mulai nampak. Dapat dicatat disini Akademi
Wiraswasta Dewantara yang dibuka oleh pengusaha Probosutejo dan kemudian
bergabung ke dalam Universitas Mercubuana. Demikian pula Universitas Sahid Jaya
yang dimiliki oleh Sahid Jaya Group.
Pada sisi lainnya, pendidikan tinggi
telah dimanfaatkan sebagai lembaga usaha dagang. Oleh karena angka partisipasi
perguruan tinggi yang masih rendah dan pembangunan yang berkembang semakin pesat,
kemungkinan untuk menarik mahasiswa ke dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi
yang sedemikian cukup besar. Dari pengalaman terlihat bahwa usaha sedemikian
memberikan hasil yang memuaskan meskipun dalam jangka waktu panjang. Dengan
perkataan lain, masalah mutu pendidikan masih tetap merupakan masalah yang
perlu terus ditingkatkan.
Beberapa Karakteristik Utama Era
Globalisasi
Berikut ini akan diuraikan beberapa
karakteristik utama globalisasi yang berkaitan dengan pendidikan, atau dengan
perkataan lain yang merupakan peluang dan tantangan bagi pendidikan.Sebagaimana
telah diuraikan di atas, globalisasi menyangkut seluruh aspek kehidupan
masyarakat dan individu anggota masyarakat. Globalisasi menyangkut kesadaran
baru mengenai dunia sebagai satu kesatuan. Interaksi dan saling tergantungan
yang semakin besar dalam era baru perlu dijawab dengan tepat. Kurikulum
pendidikan dan proses belajar-mengajar seyogianya mampu mengisi peluang ini
serta menjawab tantangan yang
ditimbulkannya.
Mengutip John P. Kotter (1995) dalam
bukunya "The New Rules", rule nomor 2 berbunyi: "The
globalization of markets and competition is creating enormous change. The new
rule is: to succeed, one must capitalize on the opportunities available in the
faster-moving and more competitive business environment while avoiding the many
hazards inherent in such an environment". Dengan demikian, tamatan
pendidikan tinggi seyogyanya diperlengkapi agar mampu memanfaatkan
peluang-peluang
baru yang tersedia dalam era yang baru tersebut;
peluang-peluang mana berubah dan bergerak sangat cepat, demikian pula dengan
tantangan-tantangan yang ditimbulkannya. Dan hal ini diungkapkan oleh Kotter
dalam rule nomor. 7-nya yang berbunyi: "In the increasingly competitive
and fast moving global business environment, winners reap big rewards while
those who are unable or unwilling to compete can encounter huge problems. The
new rule: you have got to be an able competiter. Effective competition requires
many things, especially high standards and a strong desire to win". Jadi,
produk pendidikan tinggi seyogyanya mampu untuk berkompetisi yang salah satu
syaratnya adalah memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Jadi kualitas
pendidikan memegang peranan yang sangat sentral. Selanjutnya Kotter mengatakan
bahwa pendidikan seumur hidup (life long learning) merupakan tuntutan era baru
tersebut. Sebagai rule nomor 8 ia mengatakan: "In a rapidly changing and
competitive environment, formal K-12-university education is very important,
but insufficient. Success at work demands huge growth after a terminal degree
to learn new approaches offers many opportunities for growth for those willing
to take some risks and to reflect honestly on their experiences".
Dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan tinggi Indonesia maka pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi
seyogyanya dilaksanakan dengan benar dalam suasana yang kondusif untuk
pengembangannya. Dharma yang pertama masih perlu terus dikembangkan
pelaksanaannya, termasuk didalamnya adalah pemanfaatan satuan acara perkuliahan
yang rinci serta variasi metode belajar mengajar yang dipergunakan. Salah satu
persyaratan utama untuk ini adalah para tenaga pengajar harus tekun dan
memiliki motivasi yang tinggi untuk secara terus-menerus menyempurnakan materi
perkuliahannya. Dharma yang kedua, penelitian, masih sangat perlu untuk
ditingkatkan. Wajarlah jika para tenaga pengajar terus-menerus memperjuangkan
pelaksanaan penelitian dalam pengembangan karirnya. Satu hal yang nampaknya
sangat penting untuk dikembangkan adalah budaya penelitian. Seringkali
penelitian di kalangan tenaga pengajar dilakukan hanya sebagai bagian dari satu
pekerjaan proyek. Kondisi sedemikian tidaklah mendukung terciptanya budaya
penelitian ini. Melaksanakan penelitian dalam suatu budaya penelitian yang
benar akan membawa kepada penerapan manajemen penelitian yang baik. Dan pada
gilirannya hasil penelitian tersebut akan mampu menjadi rekomendasi yang
potensial dimanfaatkan oleh penentu kebijakan. Research University baru
merupakan target bagi beberapa perguruan tinggi yang besar di Indonesia.
Sedangkan bagi iklim pendidikan tinggi di negara-negara industri, konsep ini
telah dilampaui dan sekarang target yang dipandang sesuai dengan perkembangan
yang ada ialah service university. Konsep ini menyangkut keterkaitan yang erat
diantara lembaga pendidikan tinggi dengan dunia usaha. Dengan perkataan lain,
perguruan tinggi dapat tumbuh dan berkembang didalam era globalisasi dengan
memanfaatkan peluang-peluang yang ada didalam dunia bisnis.
Sehubungan dengan itu, perlu disadari bahwa
tamatan perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya cukup memiliki pengetahuan
kognitif yang tinggi, akan tetapi perlu dilengkapi dengan sikap dan perilaku
inovatif. Terdapat kecenderungan bahwa hal-hal yang bersifat konvensional dan
tradisional tidak mendapat tempat lagi didalam era globalisasi. Teknologi
membuat keterampilan dan pengetahuan sebagai satu-satunya sumber keuntungan
strategis yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Castells, M. (1996). The Rise of The
Network Society, Vol. I. Cambridge, Mass:
Blackwell Publ.
Drucker, Peter F. (1992). Managing for The
Future The Iggos and Beyond. New York: Penguin.
Friedman, J. (1994). Cultural Identity and
Global Process. London: Sage Publ.
Giddens, A. (1990). The Consequences of
Modernity. Polity Press: United Kingdom.
Inkeles, A. and Smith, D.H. (1974).
Becoming Modern Individual Change in Six Developing Countries. Cambridge:
Harvard University Press).
Kotter, P. (1955). The New Rules How to
Succeed in Today's Post-Corporate World. New York: The Free Press.
Marshall, G. (1992). Oxford, Concise
Dictionary of Sociology. Oxfor Univ. Press.
Robertson, R. (1992). Globalization Social
Theory and Global Culture. London: Sage Publ.
Tilaar, H.A.R. (1994). Manajemen
Pendidikan Nasional. Bandung:Remaja Rasdaharya.
Thurow, Lester. (1996). The Future of
Capitalism. London: Nicholas realy.
pembelajaran: menyorot komite reformasi pendidikan
Oleh: Andrias Harefa*
Dunia persekolahan atau lembaga-lembaga pendidikan formal adalah institusi yang paling lamban (too slow) dan selalu terlambat (too late) memberikan respons terhadap arus deras perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Hal ini kembali terbukti saat kita membaca berita dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) lewat SK Mendiknas No.016/P/2001 tertanggal 21 Februari 2001 (Kompas, 7/3/2001, hlm.9).
Bayangkan, sudah sekitar tiga tahun arus reformasi bergulir, baru sekarang dibentuk KRP. Dan kalau kita membaca berita tentang perlunya perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional, kuat dugaan bahwa KRP ini dibentuk justru atas permintaan Bank Dunia yang bersedia mendanainya (Kompas, 14/2/2001, hlm.9). Jadi, mungkin benar pertanyaan retorik dalam judul tulisan Mayling Oey-Gardiner: Adakah yang Peduli Mutu Pendidikan? (Tempo, 24 Desember 2000, hlm.58).
Pemerintah agaknya tak terlalu peduli, kecuali bila soal-soal ini kemudian menjadi prasyarat pencairan bantuan dari Bank Dunia atau IMF dan lembaga donor lainnya.
Sambil mengelus dada dan menyeka air mata yang terkuras habis selama empat dekade terakhir (sejak 1959), kita mungkin hanya dapat berkata untuk kesekian ribu kalinya, better late than never. Lalu dengan harapan yang telah ribuan kali dikecewakan, kita perlu memberikan berbagai masukan kepada segenap anggota KRP yang terhormat agar hasil kerja mereka yang (dalam jangka pendek) diharapkan selesai akhir tahun ini, dapat terlihat adanya paradigm repentance, pertobatan paradigma.
KRP kita harapkan dapat menjadi faktor pemicu agar birokrasi pendidikan di pusat dan di daerah mengalami metanoia dan menindaklanjuti proses otonomi pendidikan sampai bermuara ke otonomi sekolah dengan terutama menunjukkan kemauan untuk belajar bersama-sama dengan masyarakat. Arogansi birokrasi dalam sistem pendidikan sentralistis yang dipolitisir selama ini harus berubah dengan lebih memperhatikan secara saksama aspirasi masyarakat yang sedang berubah dengan segala kompleksitasnya.
Penyederhanaan berbagai persoalan hanya akan membuat KRP "sukses" mengerjakan tugas jangka pendeknya (memperbaiki UUSPN, yakni UU No.2/1989), namun akan gagal membuat pendidikan terselenggara secara relatif otonom pada tingkat sekolah dan universitas di daerah.
Jelas sangat diharapkan bahwa paradigma pendidikan yang "baru" itu benar-benar berorientasi ke masa depan. Mochtar Buchori, yang entah mengapa tidak termasuk dalam daftar nama 12 orang anggota KRP, menyebutnya sebagai Pendidikan Antisipatoris (Kanisius, 2001). Dalam bahasa yang agak berbeda Winarno Surakhmad mengatakan, "Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana kita bisa mengembangkan suatu pendidikan yang bernafaskan desentralisasi dan sekaligus berdimensi global, sesuai dengan tuntutan masa depan itu" (Kompas, 9/3/2001,hlm 9).
Dan kalau kita coba merangkum ide-ide dasar dari wacana pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini, maka setidak ada benang merah harapan masyarakat luas bahwa arah atau visi pendidikan adalah menuju sistem pendidikan yang utamanya bersifat indijines (indigenous), kontekstual, otonom, demokratis, dan berwawasan global.
Sistem pendidikan yang baru nanti, setelah diuji coba selama 15-20 tahun, kiranya mampu memanusiawikan kaum muda dan masyarakat luas agar menjadi pembelajar-pembelajar mandiri dan kreatif, yang mampu membentuk jati diri kulturalnya sebagai masyarakat Indonesia Baru yang berperadaban dan yang memandang segala perbedaan (SARA) sebagai aset nasional yang paling berharga.
Kalau harapan-harapan yang dikemukakan di atas dapat disepakati sebagai harapan dan visi bersama, atau sekurang-kurangnya harapan sebagian besar anggota komunitas pendidikan yang menaruh perhatian serius terhadap masalah-masalah kelangsungan hidup bangsa ini, maka pertanyaannya adalah apakah susunan keanggotaan KRP yang dibentuk Mendiknas itu memperbesar harapan atau justru sebaliknya?
Artinya, apakah komposisi anggota KRP mewakili berbagai komponen bangsa yang dianggap kompeten dan arif dalam memahami persoalan-persoalan dasar dalam dunia pendidikan di negeri ini?
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sedikitnya ada tiga pertanyaan yang muncul dalam masyarakat sehubungan dengan komposisi keanggotaan KRP tersebut. Pertama, mengapa tokoh-tokoh pendidikan yang dikenal luas seperti Mochtar Buchori, Conny Semiawan, Pater Drost, Arief Rahman, dan Sindhunata, tidak termasuk didalamnya?
Apakah ada perbedaan pandangan yang membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di "pinggiran" ataukah hanya sekadar karena jumlah anggota KRP dibatasi secara ketat dengan dalih yang lain bisa memberikan masukan? Atau lebih mendasar lagi, bagaimana proses pemilihan anggota KRP itu? Apakah dilakukan secara demokratis dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota komunitas pendidikan yang ada atau dipaksakan mengikuti kehendak birokrat pendidikan di tingkat pusat? Tidakkah untuk membentuk komite yang sangat penting itu diperlukan semacam fit and proper test dalam batas-batas tertentu seperti dalam proses pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir berdasarkan Keppres No.242/M/2000?
Kedua, mengapa seluruh anggota KRP adalah akademisi dan praktisi di persekolahan formal, yang ditandai dengan atribut akademis setingkat master, doktor dan profesor? Apakah masalah pendidikan masih dipahami sebagai masalah yang hanya dipahami oleh kaum akademisi dan praktisi di lembaga-lembaga pendidikan formal yang masa depannya sedang digugat, baik di Jerman maupun di Perancis (seperti sering dikutip Sindhunata dalam kata pengantar beberapa buku terbitan Kanisius belakangan ini)? Bagaimana dengan tokoh-tokoh pendidikan luar sekolah yang sekalipun tidak memiliki atribut akademis tetapi banyak berkiprah dalam proses pendidikan dalam arti yang luas (informal, formal, nonformal)?
Ketiga, mengapa kaum muda dibawah usia 40 tahun yang sangat kritis dalam menyikapi soal-soal pendidikan seperti Darmaningtyas dan Khoe Yao Tung tidak dilibatkan? Tidakkah kaum muda lebih progresif dan "memahami" dinamika perubahan zaman di bandingkan angkatan yang telah terbelenggu oleh paradigma-paradigma lama karena telah terbiasa hidup dalam suasana sistem pendidikan yang sentralistis?
Menyoal komposisi anggota KRP terutama relevan dalam kaitannya dengan harapan adanya paradigma baru dalam memetakan maslah-masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, meminjam konsep para pakar di bidang studi "paradigma shifts" (Khun, Smith, Harmon, Ferguson, Barker, dsb), paradigma yang sungguh-sungguh baru dapat lebih diharapkan dari:
pertama, orang muda yang relatif belum berpengalaman tetapi memiliki idealisme yang jelas;
kedua, orang berpengalaman yang beralih bidang pengabdiannya (an older person shifting field);
ketiga, orang-orang yang tidak berpikir konvensional (the maverick);
dan terakhir, para pelaksana di lapangan yang amatir (tinkerers).
Dalam konteks KRP, mereka yang "sangat berpengalaman" di bidang pendidikan pada masa lalu, kecuali yang benar-benar diyakini tidak berpikir konvensional, justru tidak dapat diharapkan untuk melahirkan paradigma baru. Sama seperti pesimisme sebagian anggota masyarakat yang sinis mendengarkan kampanye paradigma baru Partai Golkar dan belakangan menuntut pembubaran parpol warisan Orde Baru itu.
Dalam seminar "Reformasi Pendidikan Nasional" yang diselenggarakan KRP Depdiknas di Yogyakarta, 16 Maret 2001, disebutkan antara lain, "Meski seminar ini banyak dihadiri pakar pendidikan, namun ide-ide yang muncul tampaknya belum banyak memunculkan pandangan yang berbeda dari anggota KRP" (Kompas, 17/3/2001, hlm.9).
Ini merupakan pencerminan awal bahwa harapan akan munculnya paradigma baru dari para pakar yang "berpengalaman" memang sulit diharapkan. Akankah hasil kerja KRP kelak akan kembali menghasilkan airmata (seperti judul sebuah tulisan
Oleh: Andrias Harefa*
Dunia persekolahan atau lembaga-lembaga pendidikan formal adalah institusi yang paling lamban (too slow) dan selalu terlambat (too late) memberikan respons terhadap arus deras perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Hal ini kembali terbukti saat kita membaca berita dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) lewat SK Mendiknas No.016/P/2001 tertanggal 21 Februari 2001 (Kompas, 7/3/2001, hlm.9).
Bayangkan, sudah sekitar tiga tahun arus reformasi bergulir, baru sekarang dibentuk KRP. Dan kalau kita membaca berita tentang perlunya perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional, kuat dugaan bahwa KRP ini dibentuk justru atas permintaan Bank Dunia yang bersedia mendanainya (Kompas, 14/2/2001, hlm.9). Jadi, mungkin benar pertanyaan retorik dalam judul tulisan Mayling Oey-Gardiner: Adakah yang Peduli Mutu Pendidikan? (Tempo, 24 Desember 2000, hlm.58).
Pemerintah agaknya tak terlalu peduli, kecuali bila soal-soal ini kemudian menjadi prasyarat pencairan bantuan dari Bank Dunia atau IMF dan lembaga donor lainnya.
Sambil mengelus dada dan menyeka air mata yang terkuras habis selama empat dekade terakhir (sejak 1959), kita mungkin hanya dapat berkata untuk kesekian ribu kalinya, better late than never. Lalu dengan harapan yang telah ribuan kali dikecewakan, kita perlu memberikan berbagai masukan kepada segenap anggota KRP yang terhormat agar hasil kerja mereka yang (dalam jangka pendek) diharapkan selesai akhir tahun ini, dapat terlihat adanya paradigm repentance, pertobatan paradigma.
KRP kita harapkan dapat menjadi faktor pemicu agar birokrasi pendidikan di pusat dan di daerah mengalami metanoia dan menindaklanjuti proses otonomi pendidikan sampai bermuara ke otonomi sekolah dengan terutama menunjukkan kemauan untuk belajar bersama-sama dengan masyarakat. Arogansi birokrasi dalam sistem pendidikan sentralistis yang dipolitisir selama ini harus berubah dengan lebih memperhatikan secara saksama aspirasi masyarakat yang sedang berubah dengan segala kompleksitasnya.
Penyederhanaan berbagai persoalan hanya akan membuat KRP "sukses" mengerjakan tugas jangka pendeknya (memperbaiki UUSPN, yakni UU No.2/1989), namun akan gagal membuat pendidikan terselenggara secara relatif otonom pada tingkat sekolah dan universitas di daerah.
Jelas sangat diharapkan bahwa paradigma pendidikan yang "baru" itu benar-benar berorientasi ke masa depan. Mochtar Buchori, yang entah mengapa tidak termasuk dalam daftar nama 12 orang anggota KRP, menyebutnya sebagai Pendidikan Antisipatoris (Kanisius, 2001). Dalam bahasa yang agak berbeda Winarno Surakhmad mengatakan, "Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana kita bisa mengembangkan suatu pendidikan yang bernafaskan desentralisasi dan sekaligus berdimensi global, sesuai dengan tuntutan masa depan itu" (Kompas, 9/3/2001,hlm 9).
Dan kalau kita coba merangkum ide-ide dasar dari wacana pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini, maka setidak ada benang merah harapan masyarakat luas bahwa arah atau visi pendidikan adalah menuju sistem pendidikan yang utamanya bersifat indijines (indigenous), kontekstual, otonom, demokratis, dan berwawasan global.
Sistem pendidikan yang baru nanti, setelah diuji coba selama 15-20 tahun, kiranya mampu memanusiawikan kaum muda dan masyarakat luas agar menjadi pembelajar-pembelajar mandiri dan kreatif, yang mampu membentuk jati diri kulturalnya sebagai masyarakat Indonesia Baru yang berperadaban dan yang memandang segala perbedaan (SARA) sebagai aset nasional yang paling berharga.
Kalau harapan-harapan yang dikemukakan di atas dapat disepakati sebagai harapan dan visi bersama, atau sekurang-kurangnya harapan sebagian besar anggota komunitas pendidikan yang menaruh perhatian serius terhadap masalah-masalah kelangsungan hidup bangsa ini, maka pertanyaannya adalah apakah susunan keanggotaan KRP yang dibentuk Mendiknas itu memperbesar harapan atau justru sebaliknya?
Artinya, apakah komposisi anggota KRP mewakili berbagai komponen bangsa yang dianggap kompeten dan arif dalam memahami persoalan-persoalan dasar dalam dunia pendidikan di negeri ini?
Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sedikitnya ada tiga pertanyaan yang muncul dalam masyarakat sehubungan dengan komposisi keanggotaan KRP tersebut. Pertama, mengapa tokoh-tokoh pendidikan yang dikenal luas seperti Mochtar Buchori, Conny Semiawan, Pater Drost, Arief Rahman, dan Sindhunata, tidak termasuk didalamnya?
Apakah ada perbedaan pandangan yang membuat tokoh-tokoh tersebut harus berada di "pinggiran" ataukah hanya sekadar karena jumlah anggota KRP dibatasi secara ketat dengan dalih yang lain bisa memberikan masukan? Atau lebih mendasar lagi, bagaimana proses pemilihan anggota KRP itu? Apakah dilakukan secara demokratis dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota komunitas pendidikan yang ada atau dipaksakan mengikuti kehendak birokrat pendidikan di tingkat pusat? Tidakkah untuk membentuk komite yang sangat penting itu diperlukan semacam fit and proper test dalam batas-batas tertentu seperti dalam proses pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketuai oleh Yusuf Syakir berdasarkan Keppres No.242/M/2000?
Kedua, mengapa seluruh anggota KRP adalah akademisi dan praktisi di persekolahan formal, yang ditandai dengan atribut akademis setingkat master, doktor dan profesor? Apakah masalah pendidikan masih dipahami sebagai masalah yang hanya dipahami oleh kaum akademisi dan praktisi di lembaga-lembaga pendidikan formal yang masa depannya sedang digugat, baik di Jerman maupun di Perancis (seperti sering dikutip Sindhunata dalam kata pengantar beberapa buku terbitan Kanisius belakangan ini)? Bagaimana dengan tokoh-tokoh pendidikan luar sekolah yang sekalipun tidak memiliki atribut akademis tetapi banyak berkiprah dalam proses pendidikan dalam arti yang luas (informal, formal, nonformal)?
Ketiga, mengapa kaum muda dibawah usia 40 tahun yang sangat kritis dalam menyikapi soal-soal pendidikan seperti Darmaningtyas dan Khoe Yao Tung tidak dilibatkan? Tidakkah kaum muda lebih progresif dan "memahami" dinamika perubahan zaman di bandingkan angkatan yang telah terbelenggu oleh paradigma-paradigma lama karena telah terbiasa hidup dalam suasana sistem pendidikan yang sentralistis?
Menyoal komposisi anggota KRP terutama relevan dalam kaitannya dengan harapan adanya paradigma baru dalam memetakan maslah-masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, meminjam konsep para pakar di bidang studi "paradigma shifts" (Khun, Smith, Harmon, Ferguson, Barker, dsb), paradigma yang sungguh-sungguh baru dapat lebih diharapkan dari:
pertama, orang muda yang relatif belum berpengalaman tetapi memiliki idealisme yang jelas;
kedua, orang berpengalaman yang beralih bidang pengabdiannya (an older person shifting field);
ketiga, orang-orang yang tidak berpikir konvensional (the maverick);
dan terakhir, para pelaksana di lapangan yang amatir (tinkerers).
Dalam konteks KRP, mereka yang "sangat berpengalaman" di bidang pendidikan pada masa lalu, kecuali yang benar-benar diyakini tidak berpikir konvensional, justru tidak dapat diharapkan untuk melahirkan paradigma baru. Sama seperti pesimisme sebagian anggota masyarakat yang sinis mendengarkan kampanye paradigma baru Partai Golkar dan belakangan menuntut pembubaran parpol warisan Orde Baru itu.
Dalam seminar "Reformasi Pendidikan Nasional" yang diselenggarakan KRP Depdiknas di Yogyakarta, 16 Maret 2001, disebutkan antara lain, "Meski seminar ini banyak dihadiri pakar pendidikan, namun ide-ide yang muncul tampaknya belum banyak memunculkan pandangan yang berbeda dari anggota KRP" (Kompas, 17/3/2001, hlm.9).
Ini merupakan pencerminan awal bahwa harapan akan munculnya paradigma baru dari para pakar yang "berpengalaman" memang sulit diharapkan. Akankah hasil kerja KRP kelak akan kembali menghasilkan airmata (seperti judul sebuah tulisan
kliping opini: SEKOLAH UNGGULAN VERSI OTONOMI PENDIDIKAN
Oleh: Achmad Sapari
Oleh: Achmad Sapari
Dewasa ini sering
kita dengar istilah "sekolah unggulan" atau "sekolah plus".
Predikat tersebut ada yang datangnya tiba-tiba (karena kepentingan birokrat
pendidikan) dan ada pula yang muncul karena penilaian masyarakat. Di era
otonomi pendidikan seperti sekarang, ada sebuah gagasan yang ingin saya
tawarkan kepada pembaca, yaitu tentang sekolah unggulan versi otonomi pendidikan.
Artinya, sekolah unggulan tersebut tetaplah sebagaimana sekolah-sekolah yang
lain. Hanya saja, pada sisi tertentu mempunyai keunggulan. Begitu pula sekolah
unggulan lainnya, mempunyai suatu keunggulan di bidang tertentu. Saya
berpendapat bahwa tidak mungkin sekolah unggulan akan unggul segalanya. Suatu
sekolah unggulan yang mendambakan untuk menjadi unggul segalanya akan menjadi
sekolah yang "tidak sehat". Mengapa? Karena mereka telah memaksakan
diri untuk menjadi unggul, padahal dalam hal tertentu tidak mungkin mengungguli
sekolah yang lain. Yang perlu dilakukan adalah memetakan keunggulan
masing-masing sekolah dan mengembangkan sekolah tersebut secara khusus kepada
keunggulannya. Sebab, hanya sekolah yang mampu menekuni keunggulannya yang akan
bisa eksis di era otonomi pendidikan. Mengapa? Karena sekolah tersebut
benar-benar berupaya untuk menjadi unggul di sisi tertentu tanpa melupakan sisi
lainnya. Misalnya, sebuah sekolah di lingkungan pantai, maka sekolah itu
setidaknya unggul dalam hal pemberdayaan pantai dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan laut, termasuk teknologi yang dapat dikembangkan di daerah
pantai. Begitu pula untuk daerah pegunungan, maka suatu sekolah haruslah
memiliki keunggulan sesuai dengan letak geografis dan sosial budaya
masyarakatnya.
Di sini tampak jelas bahwa otonomi pendidikan telah memberikan peluang dan tantangan yang optimal bagi berkembangnya sekolah-sekolah unggulan. Artinya, setiap sekolah dapat saja mengembangkan diri, sehingga menjadi unggul dalam hal tertentu.
Konsep semacam ini mungkin agak berbeda dengan konsep umum yang sekarang sedang menjamur, yaitu bahwa sekolah unggulan haruslah unggul segala-galanya. Saya berpandangan bahwa sekolah unggulan menurut manajemen berbasis sekolah (MBA) adalah sekolah yang unggul dalam tiga hal; yaitu (1) pelaksanaan pembelajarannya, (2) transparansi manajemennya, dan (3) partisipasi masyarakatnya.
Jika di suatu kecamatan ada dua atau tiga sekolah yang memiliki keunggulan pada tiga komponen tersebut, apakah mereka tidak berhak memperoleh predikat unggulan? Rasanya sangat tidak logis apabila keunggulan suatu sekolah hanya diukur dari sisi administratif. Harus ada pandangan yang komprehensif mengenai profil suatu sekolah. Bahkan, untuk sekolah yang hanya memiliki satu keunggulan saja (misalnya, partisipasi masyarakatnya), maka sekolah tersebut sudah bisa disebut unggulan, yaitu unggulan di bidang partisipasi masyarakat. Begitu pula sekolah yang hanya unggul transparansi manajemennya atau pembelajaran aktifnya. Tingginya otonomi sekolah telah mendorong suatu sekolah untuk dapat mengembangkan dirinya sesusai dengan potensi yang ada. Ketika saya mengadakan penelitian di daerah uji coba MBS di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ada banyak sekolah yang memiliki keunggulan di bidang tertentu, tetapi masih kurang di bidang yang lain. Misalnya, untuk partisipasi masyarakat, maka Sekolah Dasar (SD) Mlaten II dan SD Sumbergirang II memiliki keunggulan tersendiri dibanding SD yang lain. Untuk pembelajaran aktif dan menyenangkan bisa ditemui di SD Kebonagung. Begitu seterusnya. * * * Keunggulan yang tidak merata semacam itu sebenarnya memberikan nilai tersendiri bagi suatu sekolah. Bagi sekolah yang belum unggul di bidang pembelajaran aktif misalnya, dapat mengadakan studi banding di sekolah yang sudah unggul di bidang tersebut. Begitu seterusnya. Namun yang pasti, setiap sekolah harus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga benar-benar ada yang dapat diunggulkan. Penyeragaman sesuatu pada semua sekolah harus mulai ditinggalkan. Artinya, tuntutan agar sekolah yang satu sama persis dengan sekolah yang lain di era otonomi pendidikan ini, hendaknya dibuang jauh-jauh. Sebab, "virus keseragaman" inilah yang terjadi di era Orde Baru, sehingga membentuk anak-anak kita menjadi "pengekor" kelas wahid. Sekarang sekolah harus benar-benar otonom, dalam arti memiliki kewenangan yang besar untuk menentukan programnya. Bersama Dewan Sekolah, maka kepala sekolah dan guru harus dapat menentukan visi dan misi, sesuai dengan keadaan lingkungannya. Jika realitas semacam ini terwujud, maka keunggulan yang dimiliki masing-masing sekolah akan menjadi pemicu untuk berkompetisi secara sehat. Selain itu, secara sportif kita akan mengakui kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Dari aspek pendidikan, sekolah unggulan versi ini justru akan merekatkan hubungan antarsekolah, bukan sebaliknya. Di era otonomi pendidikan ini, perbedaan hendaknya dihargai, termasuk perbedaan dalam hal sekolah unggulan.
* Achmad Sapari, pengawas TK/SD/SDLB di Probolinggo dan mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Malang (Kompas 130701
Di sini tampak jelas bahwa otonomi pendidikan telah memberikan peluang dan tantangan yang optimal bagi berkembangnya sekolah-sekolah unggulan. Artinya, setiap sekolah dapat saja mengembangkan diri, sehingga menjadi unggul dalam hal tertentu.
Konsep semacam ini mungkin agak berbeda dengan konsep umum yang sekarang sedang menjamur, yaitu bahwa sekolah unggulan haruslah unggul segala-galanya. Saya berpandangan bahwa sekolah unggulan menurut manajemen berbasis sekolah (MBA) adalah sekolah yang unggul dalam tiga hal; yaitu (1) pelaksanaan pembelajarannya, (2) transparansi manajemennya, dan (3) partisipasi masyarakatnya.
Jika di suatu kecamatan ada dua atau tiga sekolah yang memiliki keunggulan pada tiga komponen tersebut, apakah mereka tidak berhak memperoleh predikat unggulan? Rasanya sangat tidak logis apabila keunggulan suatu sekolah hanya diukur dari sisi administratif. Harus ada pandangan yang komprehensif mengenai profil suatu sekolah. Bahkan, untuk sekolah yang hanya memiliki satu keunggulan saja (misalnya, partisipasi masyarakatnya), maka sekolah tersebut sudah bisa disebut unggulan, yaitu unggulan di bidang partisipasi masyarakat. Begitu pula sekolah yang hanya unggul transparansi manajemennya atau pembelajaran aktifnya. Tingginya otonomi sekolah telah mendorong suatu sekolah untuk dapat mengembangkan dirinya sesusai dengan potensi yang ada. Ketika saya mengadakan penelitian di daerah uji coba MBS di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ada banyak sekolah yang memiliki keunggulan di bidang tertentu, tetapi masih kurang di bidang yang lain. Misalnya, untuk partisipasi masyarakat, maka Sekolah Dasar (SD) Mlaten II dan SD Sumbergirang II memiliki keunggulan tersendiri dibanding SD yang lain. Untuk pembelajaran aktif dan menyenangkan bisa ditemui di SD Kebonagung. Begitu seterusnya. * * * Keunggulan yang tidak merata semacam itu sebenarnya memberikan nilai tersendiri bagi suatu sekolah. Bagi sekolah yang belum unggul di bidang pembelajaran aktif misalnya, dapat mengadakan studi banding di sekolah yang sudah unggul di bidang tersebut. Begitu seterusnya. Namun yang pasti, setiap sekolah harus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga benar-benar ada yang dapat diunggulkan. Penyeragaman sesuatu pada semua sekolah harus mulai ditinggalkan. Artinya, tuntutan agar sekolah yang satu sama persis dengan sekolah yang lain di era otonomi pendidikan ini, hendaknya dibuang jauh-jauh. Sebab, "virus keseragaman" inilah yang terjadi di era Orde Baru, sehingga membentuk anak-anak kita menjadi "pengekor" kelas wahid. Sekarang sekolah harus benar-benar otonom, dalam arti memiliki kewenangan yang besar untuk menentukan programnya. Bersama Dewan Sekolah, maka kepala sekolah dan guru harus dapat menentukan visi dan misi, sesuai dengan keadaan lingkungannya. Jika realitas semacam ini terwujud, maka keunggulan yang dimiliki masing-masing sekolah akan menjadi pemicu untuk berkompetisi secara sehat. Selain itu, secara sportif kita akan mengakui kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Dari aspek pendidikan, sekolah unggulan versi ini justru akan merekatkan hubungan antarsekolah, bukan sebaliknya. Di era otonomi pendidikan ini, perbedaan hendaknya dihargai, termasuk perbedaan dalam hal sekolah unggulan.
* Achmad Sapari, pengawas TK/SD/SDLB di Probolinggo dan mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Malang (Kompas 130701
aktual: BUKAN KEMEWAHAN YANG MEMBUAT SEKOLAH JADI
UNGGULAN
Definisi
sekolah unggul yang mewah, luks, sarana (hardware) yang lengkap dalam
beberapa tahun ke depan akan ditinggalkan masyarakat. Sekolah yang lebih
mementingkan hardware tersebut menyesatkan indikasi sekolah unggulan
karena dari sekolah seperti itu belum tentu menghasilkan lulusan yang optimal
dan unggulan.
"Sekolah
unggulan ialah sebuah sistem dimana seluruh komponen pendidikannya terintegrasi,
utamanya guru," ucap Prof. Dr. Yaumil Agoes Achir anggota Yayasan Pembina
Pendidikan Adik Irma (YPP Adik Irma). Dia memaksudkan terintegrasinya sistem
ialah guru, kurikulum, sarana, dan murid-muridnya saling mendukung.
Ketrampilan,
kepandaian, dan penguasaan materi oleh guru adalah kunci sekolah unggul.
"Guru juga tidak boleh diperas, pengembangan karir serta materinya harus
diperhatikan pengelola sekolah," ucapnya. Dia mengatakan kesejahteraan
guru sangat penting untuk meningkatkan mutu pendidikan. Semakin guru sejahtera
akan lebih tinggi konsentrasinya ke pendidikan dan murid.
Selain
itu ada lagi syarat yang diajukan Yaumil mengenai sekolah unggulan yaitu
kurikulum. "Jangan hanya bergantung kepada kurikulum nasional, harus ada
penambahan jam serta materi pada beberapa pelajaran yang penting,"
tuturnya.
YPP
Adik Irma sendiri memberi penekanan kepada pelajaran matematika, fisika,
humaniora (budi pekerti), kemampuan berbahasa, dan komputer. "Penekanan
pada lima point tersebut menjadikan kurikulum nasional lebih unggul,"
ujarnya.
Sedangkan
konsekuensi yang harus dihadapi anak dengan adanya beberapa penekanan pelajaran
tersebut jam pulang anak akan lebih panjang. Yaumil mengatakan mungkin anak
harus pulang sekolah jam 15.30 atau 16.00.
"Jangan
khawatir anak akan jenuh karena terlalu lama disekolah. Di luar negeri sendiri
anak pulang sekolah sore hari itu sudah biasa," tegasnya. Biasanya
kejenuhan anak di sekolah justru karena faktor gurunya karena guru tidak mampu
menampilkan materi secara menarik.
kliping
opini: PENDIDIKAN
BERPIHAK PADA "THE UPPER CLASS"?
Oleh: Umbu Tagela
Oleh: Umbu Tagela
Berkenaan dengan politik etis, Snouck
Hurgronje, seorang Belanda yang amat kolonialistik mengatakan, pendidikan akan
membuat orang turut serta dalam kehidupan orang yang mendidik. Karena itu,
pendidikan itu perlu. Cuma perlu dibatasi pada the upper class, karena hanya
ingin memperkecil jarak antara mereka dengan kita yang berkuasa. Malah dalam
semangat, kata Hurgronje, mereka tidak akan mengikatkan diri dengan massa.
Karena itu, kita harus mempersatukan diri kita dengan orang-orang Indonesia
dari the upper class.
Makna substansial dari paparan itu tergambar jelas dalam ideologi Le desir d'etre esemble yang dianyam dalam bungkusan politik etis dan secara sadar dijalankan kolonial Belanda. Pendidikan itu diciptakan untuk membuat anak didik melekat pada struktur atau sistem yang ada bukan untuk mengubah atau memperbaiki struktur itu. Sayangnya ajakan "keberhasilan" ini hanya sampai di puncak piramida sosial, tidak sampai ke lapisan menengah dan bawah.
Pikiran Hurgronje itu pada dasarnya adalah pikiran yang anti-pendidikan, karena sebetulnya Belanda telah menumbuhkan penjara, yakni penjara untuk menjadi pelayan politik kolonial Belanda yang repressive dan ingin tetap pada status quo. Hal ini didasarkan pada, pertama, yang mengenyam pendidikan terbatas pada the upper class yang secara lahiriah bersifat repressive dan diskriminatif terhadap mereka yang berasal dari lapisan menengah dan bawah. Kedua, karena mata pelajaran yang diberikan adalah yang pada dasarnya diciptakan untuk menjadi pelayan pemerintah kolonial Belanda.
Mengacu paparan itu, kita mendapat hikmah, pendidikan di zaman Belanda pada dasarnya bersifat repressive dan diskriminatif. Fakta historis ini amat membekas dalam pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Bila kita mencermati kurikulum yang berlaku, misalnya pada pendidikan tinggi, sukar bagi kita untuk menghindar bahwa kita sedang dipaksa berpihak menjadi bagian dari the upper class yang cinta pada status quo. Sebagai contoh kita dapat menyimak kurikulum Fakultas Hukum. Kurikulumnya berpihak kepada the upper class, dan diarahkan untuk melindungi sistem perekonomian. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), misalnya, lebih berurusan dengan perlindungan terhadap pedagang. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) cenderung membela perusahaan multinasional. Aspek-aspek yang mengenai hak asasi manusia yang dekat dengan the lower class hampir tidak pernah tersentuh. Pendidikan kita tidak liberal, tetapi justru suatu pendidikan yang antiliberal. Pendidikan kita cenderung berpihak memperkuat sistem yang ada yang notabene tidak memihak mayoritas rakyat miskin yang ada di struktur bawah. Kenyataan seperti inilah yang membuat Ivan Illick dan Paulo Freire mengkritik tajam dunia pendidikan di negara berkembang yang menurut dia tidak membawa perubahan apa-apa. Kritik Ivan Illick dan Paulo Freire adalah kritik terhadap kita semua, bahwa kita harus mempertanyakan kembali pendidikan itu untuk apa? Suatu sikap tegas dengan berpihak yang pasti adalah mutlak. Pendidikan bukan hanya fungsional membuka mata kita akan kemiskinan dan ketidakadilan, tetapi justru harus mampu mengurangi kemiskinan dan memperkecil ketidakadilan. Jika kita menggunakan pendidikan sebagai paspor untuk melekatkan diri pada struktur atas, maka secara sadar kita sedang melestarikan adanya jurang ketidakadilan antara upper class dengan middle class and the lower class.
Politik pendidikan
Bila kita membaca UUD 1945, kita akan tahu, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran yang penyelenggaraannya diatur undang-undang tersendiri. Cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan "Mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", masih merupakan kata-kata kosong. Kita masih jauh dari pemenuhan kebutuhan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat. Kalau pembangunan dikatakan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, maka akibat logisnya adalah semakin melebarnya jurang antara si terdidik dengan si tidak terdidik. Pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi mencerdaskan orang yang sudah cerdas. Orang-orang yang sudah cerdas adalah kelompok the upper class yang kaya dan terdidik serta memiliki akses ke pendidikan. Mereka inilah yang sebenarnya sangat menikmati pendidikan.
Jelas sekali, fenomena empirik di atas merupakan suatu ketidakadilan yang melanda dunia pendidikan kita. Ketidakadilan itu dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, pemerintah seolah tidak merasa bahwa pendidikan ini penting. Kalaupun dianggap penting, maka itu sebatas retorika. Tidak ada konsistensi dalam kebijakan pendidikan. Pendidikan selalu dijadikan tempat membuat eksperimen, peserta didik diperlakukan sebagai obyek.
Kedua, karena itu anggaran pendidikan tidak pernah ditambah. Bahkan cenderung sangat kecil. Bidang pendidikan adalah kehidupan yang miskin. Ketiga, karena pemerintah terlalu menempatkan pembangunan politik dan ekonomi di atas segala-galanya dan dalam konteks ini pendidikan mestinya diciptakan untuk menunjang laju pembangunan itu sendiri.
Pendidikan merupakan penunjang suksesnya pembangunan. Dalam tautan makna yang demikian, maka peran yang dianut adalah peranan pendidikan sebagai service station. Hal ini sama dengan yang dikatakan Johan Galtung mengenai politics of growth dalam dunia pendidikan, ketika dia mencoba mempertentangkan dengan pendidikan yang lebih berorientasi kepada pemerataan pendidikan (politics of equality).
Kondisi obyektif itu didukung pemerintah Orde Baru (Orba) yang tertuang dalam kebijakan pembangunan pada setiap Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Yang mengutamakan politics of growth sesuai laju pembangunan. Politik pendidikan yang bersifat perluasan kesempatan, baru akan diadakan setelah pembangunan relatif berhasil. Namun, kapan pembangunan berhasil dan berjalan dengan politics of equality bisa dimulai? Kini bangsa kita sedang mengalami krisis ekonomi amat parah. Bidang pembangunan pendidikan memperoleh support dana APBN sebesar 3,83 persen dari total APBN 2001, terendah di dunia setelah Bostwana.
Selain itu, yang mengundang pertanyaan, pendidikan di Indonesia adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Mestinya yang paling bertanggung jawab di bidang pendidikan adalah pemerintah, baru kemudian keluarga dan masyarakat. Bila kita kaitkan hal itu dengan hak asasi manusia, maka dapat dikatakan, pendidikan masih tetap bersifat diskriminatif dan repressive. Apalagi bila tanggung jawab utama terletak pada keluarga. Karena sesungguhnya yang akan mampu sekolah adalah mereka yang berasal dari keluarga yang kaya dan terdidik. Kondisi obyektif ini merupakan pembenaran bahwa pendidikan berpihak kepada the upper class.
Mengacu pada paparan itu dapat disimpulkan, aktualisasi hak-hak asasi manusia dalam pendidikan masih amat jauh. Masih banyak warga negara yang belum menerima pelayanan pendidikan bermutu. Pendidikan sekarang kelihatannya kurang manusiawi, dan itu adalah kejahatan (crime). Kapan kita perang melawan kejahatan itu?
* Penulis adalah pengajar di UKSW Salatiga, Jawa Tengah. (Kompas 040701)
Makna substansial dari paparan itu tergambar jelas dalam ideologi Le desir d'etre esemble yang dianyam dalam bungkusan politik etis dan secara sadar dijalankan kolonial Belanda. Pendidikan itu diciptakan untuk membuat anak didik melekat pada struktur atau sistem yang ada bukan untuk mengubah atau memperbaiki struktur itu. Sayangnya ajakan "keberhasilan" ini hanya sampai di puncak piramida sosial, tidak sampai ke lapisan menengah dan bawah.
Pikiran Hurgronje itu pada dasarnya adalah pikiran yang anti-pendidikan, karena sebetulnya Belanda telah menumbuhkan penjara, yakni penjara untuk menjadi pelayan politik kolonial Belanda yang repressive dan ingin tetap pada status quo. Hal ini didasarkan pada, pertama, yang mengenyam pendidikan terbatas pada the upper class yang secara lahiriah bersifat repressive dan diskriminatif terhadap mereka yang berasal dari lapisan menengah dan bawah. Kedua, karena mata pelajaran yang diberikan adalah yang pada dasarnya diciptakan untuk menjadi pelayan pemerintah kolonial Belanda.
Mengacu paparan itu, kita mendapat hikmah, pendidikan di zaman Belanda pada dasarnya bersifat repressive dan diskriminatif. Fakta historis ini amat membekas dalam pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Bila kita mencermati kurikulum yang berlaku, misalnya pada pendidikan tinggi, sukar bagi kita untuk menghindar bahwa kita sedang dipaksa berpihak menjadi bagian dari the upper class yang cinta pada status quo. Sebagai contoh kita dapat menyimak kurikulum Fakultas Hukum. Kurikulumnya berpihak kepada the upper class, dan diarahkan untuk melindungi sistem perekonomian. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), misalnya, lebih berurusan dengan perlindungan terhadap pedagang. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) cenderung membela perusahaan multinasional. Aspek-aspek yang mengenai hak asasi manusia yang dekat dengan the lower class hampir tidak pernah tersentuh. Pendidikan kita tidak liberal, tetapi justru suatu pendidikan yang antiliberal. Pendidikan kita cenderung berpihak memperkuat sistem yang ada yang notabene tidak memihak mayoritas rakyat miskin yang ada di struktur bawah. Kenyataan seperti inilah yang membuat Ivan Illick dan Paulo Freire mengkritik tajam dunia pendidikan di negara berkembang yang menurut dia tidak membawa perubahan apa-apa. Kritik Ivan Illick dan Paulo Freire adalah kritik terhadap kita semua, bahwa kita harus mempertanyakan kembali pendidikan itu untuk apa? Suatu sikap tegas dengan berpihak yang pasti adalah mutlak. Pendidikan bukan hanya fungsional membuka mata kita akan kemiskinan dan ketidakadilan, tetapi justru harus mampu mengurangi kemiskinan dan memperkecil ketidakadilan. Jika kita menggunakan pendidikan sebagai paspor untuk melekatkan diri pada struktur atas, maka secara sadar kita sedang melestarikan adanya jurang ketidakadilan antara upper class dengan middle class and the lower class.
Politik pendidikan
Bila kita membaca UUD 1945, kita akan tahu, setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran yang penyelenggaraannya diatur undang-undang tersendiri. Cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan "Mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", masih merupakan kata-kata kosong. Kita masih jauh dari pemenuhan kebutuhan pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat. Kalau pembangunan dikatakan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, maka akibat logisnya adalah semakin melebarnya jurang antara si terdidik dengan si tidak terdidik. Pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi mencerdaskan orang yang sudah cerdas. Orang-orang yang sudah cerdas adalah kelompok the upper class yang kaya dan terdidik serta memiliki akses ke pendidikan. Mereka inilah yang sebenarnya sangat menikmati pendidikan.
Jelas sekali, fenomena empirik di atas merupakan suatu ketidakadilan yang melanda dunia pendidikan kita. Ketidakadilan itu dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, pemerintah seolah tidak merasa bahwa pendidikan ini penting. Kalaupun dianggap penting, maka itu sebatas retorika. Tidak ada konsistensi dalam kebijakan pendidikan. Pendidikan selalu dijadikan tempat membuat eksperimen, peserta didik diperlakukan sebagai obyek.
Kedua, karena itu anggaran pendidikan tidak pernah ditambah. Bahkan cenderung sangat kecil. Bidang pendidikan adalah kehidupan yang miskin. Ketiga, karena pemerintah terlalu menempatkan pembangunan politik dan ekonomi di atas segala-galanya dan dalam konteks ini pendidikan mestinya diciptakan untuk menunjang laju pembangunan itu sendiri.
Pendidikan merupakan penunjang suksesnya pembangunan. Dalam tautan makna yang demikian, maka peran yang dianut adalah peranan pendidikan sebagai service station. Hal ini sama dengan yang dikatakan Johan Galtung mengenai politics of growth dalam dunia pendidikan, ketika dia mencoba mempertentangkan dengan pendidikan yang lebih berorientasi kepada pemerataan pendidikan (politics of equality).
Kondisi obyektif itu didukung pemerintah Orde Baru (Orba) yang tertuang dalam kebijakan pembangunan pada setiap Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Yang mengutamakan politics of growth sesuai laju pembangunan. Politik pendidikan yang bersifat perluasan kesempatan, baru akan diadakan setelah pembangunan relatif berhasil. Namun, kapan pembangunan berhasil dan berjalan dengan politics of equality bisa dimulai? Kini bangsa kita sedang mengalami krisis ekonomi amat parah. Bidang pembangunan pendidikan memperoleh support dana APBN sebesar 3,83 persen dari total APBN 2001, terendah di dunia setelah Bostwana.
Selain itu, yang mengundang pertanyaan, pendidikan di Indonesia adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Mestinya yang paling bertanggung jawab di bidang pendidikan adalah pemerintah, baru kemudian keluarga dan masyarakat. Bila kita kaitkan hal itu dengan hak asasi manusia, maka dapat dikatakan, pendidikan masih tetap bersifat diskriminatif dan repressive. Apalagi bila tanggung jawab utama terletak pada keluarga. Karena sesungguhnya yang akan mampu sekolah adalah mereka yang berasal dari keluarga yang kaya dan terdidik. Kondisi obyektif ini merupakan pembenaran bahwa pendidikan berpihak kepada the upper class.
Mengacu pada paparan itu dapat disimpulkan, aktualisasi hak-hak asasi manusia dalam pendidikan masih amat jauh. Masih banyak warga negara yang belum menerima pelayanan pendidikan bermutu. Pendidikan sekarang kelihatannya kurang manusiawi, dan itu adalah kejahatan (crime). Kapan kita perang melawan kejahatan itu?
* Penulis adalah pengajar di UKSW Salatiga, Jawa Tengah. (Kompas 040701)
Pendidikan dan Bayang-bayang Pedagogi Hitam
DIDAKTIKA
|
Ist
Pudji Isdriani K |
TULISAN Sindhunata (Kompas,
19 Februari 2001) tentang pedagogi hitam, jika tidak dibaca hati-hati dan
bijaksana, dapat menimbulkan gambaran yang menyeramkan bagi orangtua terhadap
dunia pendidikan.
Memang,
saat ini pendidikan di Indonesia belum berjalan seperti yang diinginkan
masyarakat. Contoh konkretnya adalah pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK).
Meskipun namanya taman kanak-kanak, tempat untuk bermain dan bersuka ria,
praktiknya anak-anak TK diajari menulis dan membaca. Bahkan, jika liburan
caturwulan tiba, anak TK kecil (A) diberi PR (pekerjaan rumah-Red) menulis
abjad a sampai z, sedangkan TK besar (B) les membaca, menulis dan
berhitung. Meskipun Depdiknas melarang anak TK diberi pelajaran membaca,
menulis, dan berhitung, secara sembunyi-sembunyi guru TK tetap mengajarkannya.
Alasannya, SD hanya mau menerima anak TK yang sudah bisa membaca, menulis, dan
berhitung. Dalam konteks ini, pedagogi hitam rasanya pantas diwaspadai untuk anak
TK dan SD.
Seperti diketahui, tugas
pendidikan adalah menyediakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Sekolah
bukan tempat untuk sekadar mentransfer ilmu dari guru kepada murid, tetapi
merupakan masyarakat belajar, sehingga semua event, proses, dan komponen
lingkungan menjadi sumber belajar. Murid harus aktif mencari dan membentuk
dirinya sendiri, bukan semata-mata disiapkan orang lain.
Pendidikan merupakan pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia. Jadi, jika yang terjadi pendidik adalah
subyek dan peserta didik sebagai obyek, maka hal ini jelas mengakibatkan
pamasungan kreativitas murid. Namun, untuk mengubah secara drastis sistem
pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun itu bukan pekerjaan mudah.
Siswa di Indonesia terbiasa
menjadi obyek. Datang ke sekolah, masuk kelas, duduk manis, mendengarkan
penjelasan guru, mencatat, menjawab jika diberi pertanyaan, mengerjakan tugas,
mengerjakan PR, dan mengerjakan soal-soal ulangan. Mereka terbiasa dicekoki dan
disuapi oleh guru, dan jika guru sedikit melepas agar mencari sendiri, mereka
akan gelagapan. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang untuk
membudayakan pendidikan yang berorientasi pada kemandirian siswa. sehingga
mereka tidak melulu bergantung pada sosok guru.
Kurikulum sarat muatan
Disadari atau tidak, kurikulum
yang sarat muatan tidak hanya menjadi beban murid, tetapi juga membuat guru
stres. Guru memberi banyak materi dan tugas kepada murid karena adanya tuntutan
harus menyelesaikan kurikulum yang diwajibkan oleh Depdiknas. Guru diberi
target. Belum lagi tugas-tugas administratif, seperti membuat program satuan
pengajaran (PSP), rencana pengajaran (RP), mengajar, membuat soal ulangan,
mengoreksi hasil ulangan, memberi dan mengoreksi tugas/PR, membuat analisis
evaluasi, merata-ratakan nilai ulangan harian, mengisi buku rapor, menjalankan
tugas lain seperti menjadi wali kelas, pembina Organisasi Siswa Intra Sekolah
(OSIS), wakil kepala sekolah, guru inti, dan lain sebagainya. Ditambah lagi
imbalan jasa yang diterima sampai saat ini masih jauh dari cukup alias
kesejahteraan guru masih sangat memprihatinkan.
Pemerintah harus menyediakan
perangkat pendidikan dan pengajaran yang memadai. Pemerintah dan DPR harus
sepakat untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Para orangtua (dituntut) lebih
peduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Masyarakat luas pun mempunyai tanggung
jawab moral terhadap dunia pendidikan. Dalam hal ini guru memegang posisi yang
paling strategis dalam upaya peningkatan mutu di bidang pendidikan. Guru akan
menjalankan tugasnya dengan tekun, tenang, dan bertanggung jawab penuh jika
kesejahteraannya memadai dan terpenuhi. Dengan begitu, tidak akan ada lagi guru
yang mengajar sampai tiga sekolah sekaligus hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Kalau Kurt Singer mengatakan
bahwa pendidikan mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan, itu tidak semuanya
benar. Sekolah bukanlah monster yang menakutkan. Sampai saat ini di
sekolah-sekolah ada kegiatan lain selain belajar. Misalnya, di SMU, ada
kegiatan ekstra kurikuler yang dapat diikuti siswa selepas belajar. Ada
olahraga, ada kesenian, ada kegiatan rohani, ada kegiatan pramuka, palang merah
remaja, naik gunung, dan sebagainya. Siswa dapat memilih kegiatan ekstra
kurikuler itu sesuai dengan bakatnya.
Dengan kegiatan ekstra kurikuler
siswa dapat menunjukkan bakat dan kemampuannya, sehingga terjadi keseimbangan
antara belajar dengan kegiatan lain di luar belajar. Di hari libur mereka juga
dapat refreshing. Kenyataan yang ada di kota-kota besar, tidak hari
libur pun banyak siswa yang jalan-jalan di mal sepulang sekolah.
Dengan demikian, pendapat
Singer yang mengatakan bahwa sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang
mematikan bakat dan gairah untuk belajar terlalu berlebihan. Di sekolah guru
adalah manusia biasa yang mempunyai hati dan perasaan; guru yang mengajar di
kelas juga orangtua yang mempunyai anak. Kalau guru bertindak tegas, disiplin
dan sedikit galak, semua itu dilakukan karena sedang bertugas dan demi kebaikan
siswa.
Untuk itulah orangtua wajib
memilihkan sekolah yang cocok bagi anak-anaknya. Orangtua pasti mengetahui
kemampuan, minat dan bakat anak-anaknya. Kalau anaknya pintar dan cerdas,
masukkan ke sekolah unggulan, tempat yang cocok untuk bersaing dan berprestasi.
Namun, jika anaknya biasa-biasa saja masukkan ke sekolah yang bukan unggulan.
Jangan sampai karena ambisi orangtua anaknya dipaksa masuk ke sekolah unggulan
demi gengsi. Akibatnya anak menjadi stres dan tertekan. Jelas ini bukan salah
sekolah, tetapi salah orangtua.
Dengan melihat kemampuan anak,
bakat, dorongan orangtua, guru yang profesional, tunjangan guru yang memadai,
serta perhatian serius dari pemerintah, mudah-mudahan pendidikan di Indonesia
akan lebih baik dari sekarang.
(Pudji Isdriani K, guru SMU
negeri di Jakarta)
Persoalan Dasar Pendidikan Kita
Salah
satu benang merah yang dapat ditarik dari sejarah pendidikan dan persekolahan
di tanah air adalah bahwa sistem pembelajaran sebagaimana ia diselenggarakan
selama Orde Baru harus ditolak karena terbukti menjajah, memasung, dan
mengkerdilkan jiwa kaum muda Indonesia. Pendidikan yang bersifat informal,
secara sembrono dipersamakan dengan pengajaran di lembaga formal --yakni
'sekolah' dan 'universitas', dalam arti yang telah menyimpang jauh dari makna
kedua kata itu-- bahkan juga dengan pelatihan yang non-formal --terutama
di perusahaan-perusahaan yang memiliki Divisi 'Pendidikan' dan Pelatihan,
tetapi juga di Balai Latihan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja Orde Baru--
telah terbukti 'efektif' membunuh kreativitas dan daya cipta kaum muda. Hal ini
pada gilirannya melahirkan angkatan kerja baru yang bermental budak, yang tentu
saja tidak dapat diharapkan menjadi produktif kecuali menjadi parasit, atau
bahkan kanker, bagi masyarakat di lingkungan kerjanya.
Dengan
lebih tegas dapat dikatakan masalah mendasar dari sistem pendidikan di negeri
ini berakar pada ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat untuk berbagi
tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas
bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri
komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri
kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi.
Orangtua
tidak mau repot, karena memang tidak sungguh-sungguh peduli. Bagi sebagian
besar orangtua, 'mendidik' anak itu hanya berarti mempersiapkan uang sekolah,
membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar lainnya. Kalau anaknya
mengeluh sulit belajar, orangtua segera memanggil dan membayar mahal
'guru-guru' privat yang sebagian juga pengajar-pengajar di sekolah anaknya itu,
untuk memberikan pelajaran tambahan ini dan itu, yang tak jelas relevansinya
kecuali untuk memastikan anak-anaknya diberi nilai tinggi saat ujian di sekolah
(bukankah kebiasaan membocorkan soal-soal ujian ebtanas berakar dari kebiasaan
transaksi antara orangtua dan pengajar yang berkolusi dengan birokrat
pemerintah?). Selebihnya? Itu tanggung jawab sekolah dan universitas. Bukankah
orangtua membayar semua itu dengan biaya yang sangat tinggi?
Pada
pihak lain, sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi, sikap percaya
diri yang berlebihan. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep "sekolah
unggul", "sekolah pemimpin masa depan", atau lebih parah lagi
"pendidikan unggul", birokrat di lembaga-lembaga pengajaran formal
itu merasa mampu melakukan segalanya, asal dibayar. Itu sebabnya
sekolah-sekolah yang dikatakan "terbaik" sebenarnya tidak jelas
bedanya dengan "termahal". Dengan demikian, lembaga-lembaga
pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa 'pendidikan yang baik'
adalah 'pendidikan yang mahal'. 'Mahal' sama dengan 'bermutu', bahkan 'baik'.
Kalau uang sekolahnya murah, artinya 'buruk' dan 'tak bermutu'. Dan jika
mindset ini diberlakukan, maka dapatkah kita katakan bahwa pendidikan di
Jerman, yang relatif murah sampai gratis, sangatlah 'buruk' dan 'tidak bermutu'?
Paradigma
ngawur semacam ini dipertegas oleh perusahaan-perusahaan pencari kerja
yang dipimpin oleh orang-orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran
dan pendidikan sejati, kecuali sekadar mencari (membeli) keterampilan dan
kepribadian sarjana-sarjana dari sekolah yang 'mahal' itu. Bila mereka
mendapatkan kenyataan bahwa para alumnus sekolah-sekolah 'terbaik' itu ternyata
tidak mampu bekerja secara produktif, maka dikatakan "tidak siap
pakai". Lalu sekolah dan universitas diminta menyesuaikan kurikulumnya
sedemikian rupa agar dapat menciptakan semacam 'mesin-mesin industri' yang
'siap di-pakai' itu.
Pada
masa Orde Baru, paradigma pembelajaran yang 'kurang ajar' semacam itu diperkuat
lagi oleh keputusan-keputusan 'penguasa' Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yang dipersiapkan kemudian adalah 'mesin penghafal Pancasila' yang bersedia
diperbudak menjadi tiang-tiang penopang kekuasaan yang korup dan tak bermoral.
Yang dipersiapkan kemudian adalah 'alat-alat produksi' yang bersedia di perbudak
oleh konglomerat-konglomerat bejat yang rajin berselingkuh dengan pemegang
kuasa politik. Yang dipersiapkan kemudian adalah aparat-aparat birokrasi yang
miskin inisiatif dan serba menunggu petunjuk.
Demikianlah
apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam
mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, kemudian
berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orangtua memberikan setoran kepada
sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para pengajar itu
membagikannya kepada birokrat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan
pamornya. Dan akhirnya para birokrat pendidikan ini membuat laporan Asal Bapak
Senang kepada 'Raja Mataram' dan kroninya, tanpa ragu apalagi rasa malu. Semua
terkesan beres, dan 'baik-baik' saja. Lihat angka-angka statistik menunjukkan
tingginya tingkat 'pendidikan' kaum muda dari Pelita ke Pelita. Lihat anak-anak
petani kampung sudah pada bergelar sarjana, sementara tanah orangtua mereka
telah dijadikan klangenan penjarah bersenjata. Kita akan menjadi bangsa
yang besar dan karenanya bolehlah mengajarkan kepada negara-negara lain
bagaimana berswasembada beras, sementara petani-petani kita sendiri masih
kekurangan beras dan kemudian kita kembali menjadi negara pengimpor beras. Mari
kita canangkan 'Kebangkitan Nasional Kedua' dengan membangun Menara Jakarta,
lalu kita proklamirkan pada dunia bahwa di sini, di negeri katulistiwa ini,
telah lahir Raja Babel yang baru.
Namun
mendadak sontak semuanya runtuh jadi debu. Dan mulailah kita menangis
bertalu-talu. Segala sesuatu menjadi kacau balau. Semua berteriak, tapi tak ada
yang mendengar. Semua mendengar, tapi tak ada yang mengerti. Mengapa oh
mengapa? Dimanakah pusaka kesaktian Pancasila disembunyikan (mungkin di Lubang
Buaya)? Hari Kebangkitan Nasional berubah menjadi Hari Kebangkrutan Nasional.
Hari Kesaktian Pancasila berubah menjadi Hari Kesakitan Pancasila.
Sekali
lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari
ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung
jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang
sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa
dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi. Karena
tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak
pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi
berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari tiga dekade
terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan mudah
dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan
karena buta pikiran dan buta nurani. Buah-buahnya adalah kaum muda yang jauh
lebih terbelakang dari para pelopor Sumpah Pemuda di tahun 1928.
Pentingnya Tradisi "Kemerdekaan Berpikir"
dalam Pendidikan Kita
(Catatan
Tambahan untuk S.N. Ratmana)
Oleh Dudy
Hidayat
TULISAN S.N.
Ratmana yang berjudul Pendidikan Kita Bikin Sesak Napas? (Kompas,
2/10/1996), sangat menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan. Penulis begitu
merisaukan dunia pendidikan di Indonesia (kini) yang seakan sudah tidak
diketahui arah dan tujuannya. Di lain pihak kita begitu mendambakan lahirnya
anak didik yang berprestasi dan bernilai baik, tetapi di lain pihak kita sendiri
mengabaikan norma-norma dasar pendidikan (pedagogik) yang semestinya, yakni
pendidikan yang didasarkan atas penjiwaan dan naluri nurani anak didik sendiri.
Dalam tulisan ini
saya mencoba untuk sekadar menambah atau mempertajam kegelisahan apa yang telah
dipaparkan oleh S.N. Ratmana. Dan menurut pandangan saya, dunia pendidikan kita
sekarang bukan saja sudah "terjangkit" penyakit sesak napas, tetapi
sudah (mungkin) lebih menjurus pada stadium penurunan mutu pendidikan.
Kita mungkin
masih ingat, kerap sebuah pameo dilontarkan di tengah masyarakat, bahwa bila
terjadi pergantian seorang menteri maka akan berganti pula kebijakannya, dan
biasanya akan diikuti pula dengan perubahan kurikulum yang digunakan sesuai
dengan selera bapak menteri yang baru tadi. Apakah pameo ini benar? Kita akan
sulit mendapat jawabannya dengan pasti. Tetapi, kebijakan pendidikan yang
sering berubah bila seorang menteri yang baru tampil, adalah sebuah fakta. Oleh
karena itulah, karena pameo tidak boleh diyakini sebagai fakta maka masyarakat
sering dibuat bingung.
Isu pendidikan
yang kini sedang hangat dibicarakan di masyarakat adalah masalah merosot dan
rendahnya mutu pendidikan kita. Gejalanya dapat dilihat dari banyaknya
sekolah-sekolah eksklusif yang dibangun pihak swasta yang menjanjikan sistem
pendidikan prima, lengkap dengan fasilitas dan guru-guru asingnya, atau semakin
"berbondong-bondongnya" orang kaya menyekolahkan anaknya ke luar
negeri dengan harapan mereka mendapat pendidikan yang lebih baik. Lantas, jika
demikian apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia pendidikan kita ?
Tradisi kebebasan
berpikir
Masalah mutu
pendidikan tampaknya telah menjadi keprihatinan berbagai pihak. Banyak pakar
membicarakannya, mereka tidak hanya berasal dari kalangan yang ahli di bidang
teknis pendidikan semata, tetapi juga para pengamat berbagai disiplin ilmu yang
merasa prihatin atas kondisi ini. Dengan "urun rembuk-nya"
mereka dalam persoalan ini semakin menambah pemahaman kita akan pentingnya
masalah ini agar segera cepat dibenahi. Ini menunjukkan, bahwa ternyata masalah
kemerosotan kualitas pendidikan semakin kompleks dan pelik. Ia tidak hanya
menyangkut hal-hal yang bersifat teknis kependidikan semata, seperti kurikulum,
rasio guru-murid, sistem pengajaran, sarana dan fasilitas, tetapi juga tidak
terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat.
Suatu fenomena
yang erat kaitannya dengan menurunnya kualitas pendidikan adalah kurang
suburnya tradisi kebebasan berpikir kreatif di dalam masyarakat. Apa yang
dimaksud dengan kebebasan berpikir kreatif di sini adalah suatu budaya di mana
output intelektualitas seseorang sangat dihargai, ia tidak hanya berupa
simbol-simbol dan status akademik yang selama ini banyak dipuji-puji dan
dikagumi. Tetapi yang lebih penting di sini adalah kemampuan riil yang
dihasilkan atas kemampuan intelektual seseorang. Kemampuan riil inilah yang
kita tidak bisa mengukurnya dengan hanya nilai angka.
Kondisi tidak
kondusif seperti di atas diakui tumbuh subur pada masyarakat kita dan sulit
dipisahkan dari perilaku kita sehari-hari. Misalnya orangtua begitu mendambakan
anaknya menjadi sarjana, karena kalau anaknya tidak menyandang gelar sarjana,
gengsi keluarga menjadi taruhannya. Atau bila sang anak telah lulus kuliah ia
harus bekerja di kantor pemerintah menjadi pegawai negeri, atau bila ia bekerja
di perusahaan swasta, harus lebih dulu tahu apakah perusahaan itu "bonafide"
atau tidak.
Di sini jelas
terlihat keberhasilan anak yang ditandai dengan memperoleh predikat sarjana
atau status pegawai negeri seolah-olah dianggap sebagai suatu yang luar biasa.
Tetapi bagaimana ketika "puncak harapan" itu sirna dan si anak harus
mulai berkiprah di dalam masyarakat, atau ia dihadapkan dengan persaingan
mencari pekerjaan yang ternyata sulit. Di sini tidak jarang ia mengalami suatu
keadaan yang sebaliknya. Jika semula ia dikagumi karena status kesarjanaannya,
kini ia dipojokkan karena simbol kesarjanaannya, bahkan yang lebih tragis lagi
bila sang anak sudah didudukkan sebagai tonggak harapan keluarga.
Perilaku
sosiokultural masyarakat Indonesia seperti ini bukanlah khayalan, tetapi nyata
terdapat dalam masyarakat kita. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa
faktor, di antaranya: di dalam keluarga masih terdapat adanya kesenjangan
pemikiran antara orangtua dan anak yang keduanya hidup dalam dunia yang
berbeda, se-dang mereka tidak dapat saling memahami satu-sama lain, atau
masyarakat kita yang lebih melihat orang bertitel dari pihak orang yang
berkemampuan namun tidak bertitel, begitu juga dengan pasaran kerja yang lebih
melihat gelar seseorang daripada kemampuan seseorang.
Pola interaktif
Faktor lain yang
bisa menghambat tumbuhnya tradisi kebebasan berpikir bagi anak didik adalah
adanya "mitos" bahwa orangtua harus selalu berada pada posisi yang
dominan, dan tidak dibenarkan seorang anak memiliki pemikiran lain kecuali
menuruti kehendak berpikir orangtuanya. Contoh lain, bisa dilihat dalam
hubungan guru-murid atau dosen-mahasiswa. Selama ini ukuran pintar tidaknya
seorang murid atau mahasiswa didasarkan atas nilai formalnya. Seorang murid
dengan nilai yang tinggi akan dihargai secara simbolis berupa predikat sang
juara atau teladan. Tetapi bagaimana dengan nasib siswa yang sebenarnya
memiliki kemampuan berpikir kreatif yang tinggi dan bersikap kritis, namun
tidak dapat memunculkannya dalam nilai-nilai angka. Karena tiadanya penilaian
atau metode evaluasi objektif yang sesuai dengan pola pikir anak. Masa depan
anak berkemampuan seperti inilah yang tidak jarang lebih buruk nasibnya
dibanding mereka yang tidak pintar sekali pun. Karena mereka secara konseptual
sudah terpinggirkan dari "gelanggang" pengajaran yang
"diwasiti" oleh guru.
Di dunia
pendidikan, jika sistem pengajaran tidak kondusif bagi pertumbuhan sikap kritis
dan berpikir kreatif, maka bisa dimengerti bila murid kemudian cenderung
bersikap pasif dan masa "bodoh". Mereka sekadar menuruti apa yang
dikatakan oleh gurunya di sekolah, tetapi tidak di luar sekolah. Murid sekadar
mengikuti dan menerima pelajaran, namun bukan mengerti dan mempelajari apa yang
diberikan oleh gurunya karena tiadanya rangsangan dan dorongan untuk
benar-benar memahami.
Persoalan di atas
selanjutnya berakibat pada rendahnya kemampuan nyata yang mereka dapatkan
sehari-hari. Dihadap-kan pada kondisi ini guru tidak jarang mencoba mengkatrol
nilai anak didiknya sendiri, jika guru tidak ingin dikatakan gagal dalam
melaksanakan tugasnya. Fenomena ini semakin lama menjadi kebiasaan, sesuatu
yang boleh dikatakan sebagai salah satu sebab merosotnya mutu pendidikan.
Dengan adanya budaya katrol, secara tidak sadar guru "memaksa" murid
untuk tidak perlu belajar keras, tidak berusaha mencari tahu apa kekurangan dan
kesulitannya, serta tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari di sekolah.
Kasus yang pernah
hangat seperti manipulasi NEM (Nilai Ebtanas Murni) oleh para guru atas anak
didiknya semakin memperkuat asumsi di atas, atau prasyarat NEM yang
diberlakukan oleh pemerintah untuk bisa masuk ke suatu sekolah. Atas
kondisi-kondisi di atas, maka boleh dikatakan dunia pendidikan kita (tampaknya)
saat ini tengah terjadi suatu dilema yang sangat membingungkan. Di satu pihak
guru harus mempertahankan nama baik sekolahnya di mata masyarakat, sedang di
lain pihak guru harus pula membantu anak didiknya "mempertinggi"
nilai NEM agar ia dapat masuk ke sekolah tertentu. Maka, dengan menyadari bahwa
selama ini kita tidak mencoba menerapkan tradisi kebebasan berpikir kreatif
sebagai elemen sistem pendidikan, paling tidak kita telah menemukan satu akar
permasalahan mengapa mutu pendidikan kita agak tertinggal.
Konsistensi
sistem
Dengan menyadari
tidak berkembangnya tradisi kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan seperti
sekarang, satu alternatif yang bisa dicoba adalah melakukan perubahan secara
nyata berupa perombakan kebiasaan berpikir, baik di dalam lingkungan keluarga
maupun sekolah. Penerapan sistem mendidik Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di
sekolah-sekolah adalah sebuah gejala yang baik. Sejauh sistem CBSA tidak
diterapkan coba-coba, upaya ini merupakan satu tahap awal keterbukaan dalam
pendidikan, atau dapat disebut adanya sedikit perubahan dalam cara berpikir.
Dengan
diterapkannya CBSA kedudukan guru-murid bisa diharapkan sedikit berubah, di
sini murid tidak lagi dianggap sebagai "tempat kosong" yang harus
diisi ilmu oleh guru, tetapi sudah diperlakukan sebagai anak manusia yang
sedang mencari dan mencoba pola pikirnya. Sistem pengajaran yang selama ini
masih dipakai, yakni pola indoktrinasi tampaknya sudah harus diganti, anak
didik sekarang harus didorong untuk mencari permasalahan dan mencoba memecahkan
persoalan menurut caranya sendiri. Di sini, sekali lagi fungsi guru hanyalah
sebagai pendamping atau mediator saja.
Namun, apa yang
telah dirintis dalam pendidikan formal seperti penerapan CBSA di atas tidak
dibarengi dengan perubahan dalam sistem pendidikan keluarga, kiranya kita tidak
bisa mengatakan CBSA itu sebagai langkah awal pembakuan tradisi pendidikan
baru. Sebab apa yang dialami di sekolah atau perguruan tinggi akan sangat
berbeda sekali bila ia kembali pada keluarga, oleh karena interaksi antara anak
dan orangtua relatif lebih intensif daripada interaksinya dengan guru-gurunya.
Bukannya tidak mungkin gaya pendidikan keluarga yang masih indoktrinatif itu
akan lebih dominan terhadap si anak. Karena itu pula sistem CBSA yang
mengandalkan hubungan antarindividu secara demokratis harus dijadikan suatu
kebiasaan di masyarakat dan keluarga.
Dari uraian di
atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa masalah pendidikan sebenarnya
merupakan persoalan kita bersama. Persoalan masyarakat, persoalan keluarga, dan
persoalan pemerintah. Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ternyata
harus juga disertai dengan tradisi kebebasan berpikir dan berkreasi, seraya
mengembangkan nilai-nilai demokratis di antara kita sendiri. Namun, itu pun
dengan syarat bahwa kebijakan pendidikan tidak harus berganti seiring dengan
bergantinya seorang policy maker. Oleh karena itu harus diyakini
bersama, siapa pun menteri yang naik bila sistemnya baik akan berjalan baik.
* Dudy
Hidajat, mantan guru, sekarang bekerja di pusat
Data Informasi Anak-YKAI, Jakarta
MASA KRISIS DAN REFLEKSI
KEGAGALAN PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Prof Dr HAR Tilaar, MscEd
Apakah yang dapat kita pelajari dari masa krisis dewasa ini? Krisis menyeluruh yang telah membawa masyarakat dan bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan, bermula dari krisis moneter merambat menjadi krisis ekonomi dan berakhir kepada krisis kepercayaan.
Para pemimpin masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah mengalami krisis kepercayaan masyarakat. Antara kelompok masyarakat terjadi salah pengertian bahkan saling curiga-mencurigai, saling tidak percaya. Bahkan gejala-gejala "SARA" telah mulai terbuka dalam masyarakat kita yang dapat membawa kepada disintegrasi nasional.
Berbagai praduga-praduga premordial dibesar-besarkan sehingga menambah krisis kepercayaan yang sedang merambah di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Para pengemban hukum diragukan integritasnya oleh kebanyakan anggota masyarakat. Supremasi hukum menjadi sirna karena sekelompok pemimpin atau penguasa berada di atas hukum.
Dengan kata lain, krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa ini. Dan oleh karena pendidikan adalah merupakan proses pembudayaan maka krisis kebudayaan yang kita alami dewasa ini adalah pula merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang konkret. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis, maka tugas tersebut merupakan suatu tugas pembangunan kembali kebudayaan kita.
Pendidikan kita dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi semata-mata alat dari suatu orde ekonomi atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Selain itu perubahan kebudayaan tanpa didukung oleh praksis pendidikan, akan menyebabkan berbagai bentuk reformasi kebudayaan akan sia-sia. Reformasi yang berkesinambungan adalah reformasi yang didukung oleh proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
*Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan. Nukilan dari "Paradigma Baru Pendidikan Nasional" hal. 5-6. Penerbit Rineka Cipta, 2000.
Oleh: Prof Dr HAR Tilaar, MscEd
Apakah yang dapat kita pelajari dari masa krisis dewasa ini? Krisis menyeluruh yang telah membawa masyarakat dan bangsa Indonesia ke dalam keterpurukan, bermula dari krisis moneter merambat menjadi krisis ekonomi dan berakhir kepada krisis kepercayaan.
Para pemimpin masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah mengalami krisis kepercayaan masyarakat. Antara kelompok masyarakat terjadi salah pengertian bahkan saling curiga-mencurigai, saling tidak percaya. Bahkan gejala-gejala "SARA" telah mulai terbuka dalam masyarakat kita yang dapat membawa kepada disintegrasi nasional.
Berbagai praduga-praduga premordial dibesar-besarkan sehingga menambah krisis kepercayaan yang sedang merambah di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Para pengemban hukum diragukan integritasnya oleh kebanyakan anggota masyarakat. Supremasi hukum menjadi sirna karena sekelompok pemimpin atau penguasa berada di atas hukum.
Dengan kata lain, krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa ini. Dan oleh karena pendidikan adalah merupakan proses pembudayaan maka krisis kebudayaan yang kita alami dewasa ini adalah pula merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang konkret. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis, maka tugas tersebut merupakan suatu tugas pembangunan kembali kebudayaan kita.
Pendidikan kita dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi semata-mata alat dari suatu orde ekonomi atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Selain itu perubahan kebudayaan tanpa didukung oleh praksis pendidikan, akan menyebabkan berbagai bentuk reformasi kebudayaan akan sia-sia. Reformasi yang berkesinambungan adalah reformasi yang didukung oleh proses pendidikan sebagai proses pembudayaan.
*Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan. Nukilan dari "Paradigma Baru Pendidikan Nasional" hal. 5-6. Penerbit Rineka Cipta, 2000.
kliping opini: MENYOAL PENDIDIKAN UNTUK
SI MISKIN
Oleh: Paulus Mujiran
Oleh: Paulus Mujiran
Tahun ajaran baru sudah tiba. Pada setiap
tahun ajaran baru, dapat kita saksikan pemandangan menarik; penerimaan siswa
baru dari tingkat TK-SLTA, juga mereka yang berebut kursi di bangku perguruan
tinggi. Bagi kalangan menengah ke atas, tidak terlalu menjadi masalah bagaimana
mereka bisa melanjutkan pendidikan. Dengan NEM yang mereka miliki serta dana
yang tersedia, mereka dengan mudah dapat meraih kursi di sekolah yang diidamkan.
Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.
Sebagai pendidik, dan orang tua, kita merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur.
Hak
Banyak sekolah didirikan semata-mata untuk mengeruk uang dan keuntungan. Dengan NEM yang rendah dan biaya yang sangat sedikit, masihkah ada peluang untuk memperoleh pendidikan? Kisah-kisah semacam ini menjadi menarik, ketika mereka mengatakan telah mendatangi sekolah-sekolah untuk mendaftarkan diri tetapi ditolak karena tidak ada biaya. Ironis memang.
Wali Kota Semarang H Sukawi Sutarip dalam sebuah dialog dengan LSM dan wartawan pernah menyesalkan iklan ’’Ayo Sekolah’’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak.
Ketiadaan memperoleh kesempatan sekolah merupakan pengingkaran dari tujuan pendidikan sendiri, yang mencakup: Pertama, pendidikan bertujuan membentuk manusia seutuhnya yakni manusia Pancasilais sejati. Kedua, pendidikan berlangsung seumur hidup di dalam dan di luar sekolah.
Ketiga, pendidikan berdasarkan pada faktor ekologi, yakni kondisi masyarakat yang sedang membangun dengan kondisi sosial budaya serta alam Indonesia. Keempat, berdasarkan pandangan psikologis belajar modern, anak didik diakui sebagai suatu organisme yang sedang berkembang, yang berkemampuan, beraktivitas dan berinteraksi, baik dengan masyarakat maupun dengan lingkungan.
Kelima, hasil pendidikan diharapkan, kelak anak didik menjadi manusia atau warga masyarakat yang terampil bekerja, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya kini dan di masa mendatang. (Oemar Hamalik, 1980). Oleh karena itu, kesempatan memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara.
Sekalipun banyak pihak menyadari -- juga termasuk pengelola pendidikan -- perlunya pendidikan bagi kaum miskin, tetapi jangankan bisa sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah payah. Apalagi biaya sekolah kian hari kian mahal. Idealnya biaya pendidikan tidak dibebankan kepada orang tua, tetapi subsidi dari negara.
Namun apa lacur? Pada zaman mantan Presiden Gus Dur, yang dikenal sebagai seorang populis dan humanis dan di masa lalu memberikan perhatian besar kepada dunia pendidikan, anggaran pendidikan dalam APBN 2001 justru amat kecil.
Munculnya keprihatinan semacam itu tidak terjadi sekarang saja. Paulo Freire, ahli pendidikan Amerika Latin yang menulis buku berjudul Pedagogy of the Oppressed (1972), dengan lantang dan tegas mengkritik pendidikan. Menurut Freire, praksis pendidikan dalam kenyataannya tidak lain sebagai proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga.
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan justru semakin dilegitimasi kehadirannya lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai objek pendidikan, instruksional, dan antidialog.
Penjinakan
Secara tajam, Freire mengatakan sekolah tidak lebih sebagai penjinakan. Dengan begitu rupa, murid dipaksa pasrah, nrimo. Murid digiring dalam ketaatan bisu. Mereka harus diam, atau tidak semestinya tahu realitas diri dan dunianya sebagai tertindas. Sebab kesadaran diri akan membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal yang selama ini diidamkan oleh segelintir elite sosial politis.
Kita pun merasakan 32 tahun pendidikan berjalan sebagai realitas pembungkaman anak didik. Kesadaran kritis mereka dinafikan untuk status quo penguasa yang tidak mau dikritik dan kekuasaannya diganggu. Jangankan orang miskin dapat bersekolah secara memadai, untuk mengenal realitas kemiskinan mereka sendiri saja hampir tidak memungkinkan.
Harus diakui, kritik tajam Freire itu mengilhami banyak orang tentang perlunya mengubah paradigma pandang mengenai pendidikan. Pertanyaan mendasar perlu diajukan, bagaimana mengelola pendidikan seperti diidamkan oleh Freire.
Sekarang saja, sistem pendidikan yang ada masih kaku, sentralistis, serta dibelenggu oleh kurikulum dan penyeragaman. Fatalnya, pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi dan penyeragaman.
Pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi kaum berkuasa karena sekolah memang dijadikan salah satu tempat untuk pembungkaman kritik. Tragisnya, sekolah berubah menjadi representasi kaum elite politis terutama selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Sekolah menjadi kesempatan pembungkaman kesadaran yang bertolak belakang dari cita-cita para pejuang kemerdekaan.
Di pihak lain, sejalan dengan kritik dan pemikiran Freire, sekolah lebih menjadi legitimasi sekelompok elite sosial politik lewat sistem pendidikan yang manipulatif serta menutup jalan terjadinya kreativitas. Karenanya, tidaklah mungkin terjadi perkembangan dan perubahan, kalau orang sudah kehilangan kesadaran (awareness).
Kegelisahan
Sampai saat ini potret muram dunia pendidikan menjadi kegelisahan banyak orang, pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat elitis semata. Pendidikan lebih sebagai tempat yang menyediakan tenaga kerja untuk sekelompok kecil masyarakat, dan bukan sebagai agen dan pelaku perubahan dalam kehidupan masyarakat. Tengok saja sekolah-sekolah kaya di kota-kota besar pada musim pendaftaran siswa baru seperti sekarang ini, hanya kelas menengah ke ataslah yang bisa masuk. Dengan biaya yang mahal, persyaratan yang rumit -- pendidikan bagi kaum miskin tidak pernah terwujud.
Padahal, dalam konteks ini, pendidikan bukan pertama-tama melayani masyarakat, melainkan membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang sehingga kelak dengan bebas dan sadar membantu masyarakatnya. Kita masuk dalam suatu fenomena globalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dengan tiba-tiba kita memasuki budaya instan. Pola yang tertanam dalam masyarakat akan lapangan kerja dengan persyaratan tertentu, jabatan dengan gelar tertentu "merayu" model pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan 'kebutuhan' pasar.
Tidaklah mengherankan, kalau sekolah elite yang menghasilkan lulusan pintar, jurusan elite yang terbuka luas peluang masuk ke dunia kerja kebanjiran murid. Celakanya, banyak orang dan bahkan pendidik menganggap sekolah hanya sekadar untuk memperoleh pekerjaan, nilai tinggi, prestasi terlepas cara mengupayakannya.
Pentingnya linking dan delinking dan link and match yang digembar-gemborkan Wardiman Djojonegoro, mendikbud era Soeharto, menjadi alat legitimasi mereka yang secara sosial, ekonomi, dan intelektual saja yang bisa mengakses dunia pendidikan bermutu.
Gagasan itu menekankan anak didik harus mempunyai persambungan dengan lingkungan hidupnya, baik itu sosial, alam maupun kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pendidikan membuat orang bisa mengenali kelebihan dan kekurangan pada dirinya dan lingkungannya.
Kemampuan itulah yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan. Anak didik adalah manusia, karenanya harus diperlakukan dengan hati-hati. Ia mengingatkan bahwa manusia adalah unfertiges Wesen, makhluk yang tidak siap.
Kodrat manusia lain dibanding binatang. Seekor anak ayam hanya membutuhkan beberapa saat untuk mematuk makanannya, tetapi seorang bayi membutuhkan waktu bertahun-tahun ’’hanya’’ untuk belajar makan. Tampak jelas, tanpa bantuan orang lain manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam dataran itu, manusia tidak cukup hanya dilatih -- melainkan harus dididik. Dengan pendidikan, ia akan berubah secara mental dan emosional.
Ketidakmampuan mengadaptasi diri dengan masyarakat dan lingkungan merupakan kegagalan pendidikan. Lihat saja, anggota DPR yang diangkat oleh rakyat melalui pemilu kehilangan sense of crisis dengan mengedepankan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib rakyat yang menderita karena krisis ekonomi.
Di tengah beragam keprihatinan akan situasi bangsa dewasa ini, bagaimanapun pendidikan untuk si miskin patut memperoleh perhatian secara seksama dan serius. Jika tidak, mereka akan dengan mudah diperalat kaum berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang mampu menjadi penggerak. Dalam bahasa yang sederhana tidak ditemukan orang yang sudah menep (baca = mengendap) untuk membawa perubahan di negeri ini.
Dalam tahun ajaran baru semacam pengelola pendidikan, yayasan dan pemerintah mesti memberikan perhatian kepada kaum miskin. Ketiadaan akses memperoleh pendidikan justru akan memperuncing kesenjangan sosial yang sampai kapan pun akan mengundang kerawanan sosial bagi kehidupan bersama.
* Penulis, Ketua Pelaksana Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang. (Suara Pembaruan 270701)
Jauh sebelum ujian, mereka mempersiapkan diri dengan les privat, bimbingan tes dan berbagai kursus untuk meraih NEM tinggi. Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, mereka pasti mengalami kesulitan. Berbekal NEM yang rendah dan dana serba terbatas, praktis mereka tidak mempunyai pilihan. Bahkan, sekalipun NEM memadai untuk melanjutkan ke sekolah bermutu, mereka tidak akan pernah bisa masuk dengan persyaratan yang rumit serta biaya yang mahal.
Sebagai pendidik, dan orang tua, kita merasakan betapa akses ke dunia pendidikan tidak diperoleh semua kalangan. Orang kecil terutama, selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Mereka tidak saja sukar untuk menaikkan taraf hidup dengan memperoleh pendidikan yang layak, mereka juga dengan mudah diperlakukan tidak adil oleh mereka yang menguasai pangsa pasar. Sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah. Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur.
Hak
Banyak sekolah didirikan semata-mata untuk mengeruk uang dan keuntungan. Dengan NEM yang rendah dan biaya yang sangat sedikit, masihkah ada peluang untuk memperoleh pendidikan? Kisah-kisah semacam ini menjadi menarik, ketika mereka mengatakan telah mendatangi sekolah-sekolah untuk mendaftarkan diri tetapi ditolak karena tidak ada biaya. Ironis memang.
Wali Kota Semarang H Sukawi Sutarip dalam sebuah dialog dengan LSM dan wartawan pernah menyesalkan iklan ’’Ayo Sekolah’’ di televisi yang mendorong anak-anak bersekolah, tetapi begitu tiba di sekolah ditolak mentah-mentah karena tidak ada biaya. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara kita menggariskan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak.
Ketiadaan memperoleh kesempatan sekolah merupakan pengingkaran dari tujuan pendidikan sendiri, yang mencakup: Pertama, pendidikan bertujuan membentuk manusia seutuhnya yakni manusia Pancasilais sejati. Kedua, pendidikan berlangsung seumur hidup di dalam dan di luar sekolah.
Ketiga, pendidikan berdasarkan pada faktor ekologi, yakni kondisi masyarakat yang sedang membangun dengan kondisi sosial budaya serta alam Indonesia. Keempat, berdasarkan pandangan psikologis belajar modern, anak didik diakui sebagai suatu organisme yang sedang berkembang, yang berkemampuan, beraktivitas dan berinteraksi, baik dengan masyarakat maupun dengan lingkungan.
Kelima, hasil pendidikan diharapkan, kelak anak didik menjadi manusia atau warga masyarakat yang terampil bekerja, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya kini dan di masa mendatang. (Oemar Hamalik, 1980). Oleh karena itu, kesempatan memperoleh pendidikan merupakan hak setiap warga negara.
Sekalipun banyak pihak menyadari -- juga termasuk pengelola pendidikan -- perlunya pendidikan bagi kaum miskin, tetapi jangankan bisa sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah payah. Apalagi biaya sekolah kian hari kian mahal. Idealnya biaya pendidikan tidak dibebankan kepada orang tua, tetapi subsidi dari negara.
Namun apa lacur? Pada zaman mantan Presiden Gus Dur, yang dikenal sebagai seorang populis dan humanis dan di masa lalu memberikan perhatian besar kepada dunia pendidikan, anggaran pendidikan dalam APBN 2001 justru amat kecil.
Munculnya keprihatinan semacam itu tidak terjadi sekarang saja. Paulo Freire, ahli pendidikan Amerika Latin yang menulis buku berjudul Pedagogy of the Oppressed (1972), dengan lantang dan tegas mengkritik pendidikan. Menurut Freire, praksis pendidikan dalam kenyataannya tidak lain sebagai proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga.
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan justru semakin dilegitimasi kehadirannya lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai objek pendidikan, instruksional, dan antidialog.
Penjinakan
Secara tajam, Freire mengatakan sekolah tidak lebih sebagai penjinakan. Dengan begitu rupa, murid dipaksa pasrah, nrimo. Murid digiring dalam ketaatan bisu. Mereka harus diam, atau tidak semestinya tahu realitas diri dan dunianya sebagai tertindas. Sebab kesadaran diri akan membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal yang selama ini diidamkan oleh segelintir elite sosial politis.
Kita pun merasakan 32 tahun pendidikan berjalan sebagai realitas pembungkaman anak didik. Kesadaran kritis mereka dinafikan untuk status quo penguasa yang tidak mau dikritik dan kekuasaannya diganggu. Jangankan orang miskin dapat bersekolah secara memadai, untuk mengenal realitas kemiskinan mereka sendiri saja hampir tidak memungkinkan.
Harus diakui, kritik tajam Freire itu mengilhami banyak orang tentang perlunya mengubah paradigma pandang mengenai pendidikan. Pertanyaan mendasar perlu diajukan, bagaimana mengelola pendidikan seperti diidamkan oleh Freire.
Sekarang saja, sistem pendidikan yang ada masih kaku, sentralistis, serta dibelenggu oleh kurikulum dan penyeragaman. Fatalnya, pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi dan penyeragaman.
Pemandulan kreasi oleh guru itu memperoleh legitimasi kaum berkuasa karena sekolah memang dijadikan salah satu tempat untuk pembungkaman kritik. Tragisnya, sekolah berubah menjadi representasi kaum elite politis terutama selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Sekolah menjadi kesempatan pembungkaman kesadaran yang bertolak belakang dari cita-cita para pejuang kemerdekaan.
Di pihak lain, sejalan dengan kritik dan pemikiran Freire, sekolah lebih menjadi legitimasi sekelompok elite sosial politik lewat sistem pendidikan yang manipulatif serta menutup jalan terjadinya kreativitas. Karenanya, tidaklah mungkin terjadi perkembangan dan perubahan, kalau orang sudah kehilangan kesadaran (awareness).
Kegelisahan
Sampai saat ini potret muram dunia pendidikan menjadi kegelisahan banyak orang, pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan masyarakat elitis semata. Pendidikan lebih sebagai tempat yang menyediakan tenaga kerja untuk sekelompok kecil masyarakat, dan bukan sebagai agen dan pelaku perubahan dalam kehidupan masyarakat. Tengok saja sekolah-sekolah kaya di kota-kota besar pada musim pendaftaran siswa baru seperti sekarang ini, hanya kelas menengah ke ataslah yang bisa masuk. Dengan biaya yang mahal, persyaratan yang rumit -- pendidikan bagi kaum miskin tidak pernah terwujud.
Padahal, dalam konteks ini, pendidikan bukan pertama-tama melayani masyarakat, melainkan membantu kelahiran manusia-manusia dewasa dan matang sehingga kelak dengan bebas dan sadar membantu masyarakatnya. Kita masuk dalam suatu fenomena globalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dengan tiba-tiba kita memasuki budaya instan. Pola yang tertanam dalam masyarakat akan lapangan kerja dengan persyaratan tertentu, jabatan dengan gelar tertentu "merayu" model pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan 'kebutuhan' pasar.
Tidaklah mengherankan, kalau sekolah elite yang menghasilkan lulusan pintar, jurusan elite yang terbuka luas peluang masuk ke dunia kerja kebanjiran murid. Celakanya, banyak orang dan bahkan pendidik menganggap sekolah hanya sekadar untuk memperoleh pekerjaan, nilai tinggi, prestasi terlepas cara mengupayakannya.
Pentingnya linking dan delinking dan link and match yang digembar-gemborkan Wardiman Djojonegoro, mendikbud era Soeharto, menjadi alat legitimasi mereka yang secara sosial, ekonomi, dan intelektual saja yang bisa mengakses dunia pendidikan bermutu.
Gagasan itu menekankan anak didik harus mempunyai persambungan dengan lingkungan hidupnya, baik itu sosial, alam maupun kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, pendidikan membuat orang bisa mengenali kelebihan dan kekurangan pada dirinya dan lingkungannya.
Kemampuan itulah yang membantu manusia beradaptasi dengan lingkungan. Anak didik adalah manusia, karenanya harus diperlakukan dengan hati-hati. Ia mengingatkan bahwa manusia adalah unfertiges Wesen, makhluk yang tidak siap.
Kodrat manusia lain dibanding binatang. Seekor anak ayam hanya membutuhkan beberapa saat untuk mematuk makanannya, tetapi seorang bayi membutuhkan waktu bertahun-tahun ’’hanya’’ untuk belajar makan. Tampak jelas, tanpa bantuan orang lain manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam dataran itu, manusia tidak cukup hanya dilatih -- melainkan harus dididik. Dengan pendidikan, ia akan berubah secara mental dan emosional.
Ketidakmampuan mengadaptasi diri dengan masyarakat dan lingkungan merupakan kegagalan pendidikan. Lihat saja, anggota DPR yang diangkat oleh rakyat melalui pemilu kehilangan sense of crisis dengan mengedepankan kekuasaan ketimbang memikirkan nasib rakyat yang menderita karena krisis ekonomi.
Di tengah beragam keprihatinan akan situasi bangsa dewasa ini, bagaimanapun pendidikan untuk si miskin patut memperoleh perhatian secara seksama dan serius. Jika tidak, mereka akan dengan mudah diperalat kaum berkuasa untuk kepentingannya sendiri. Pendidikan yang tidak merata juga menyebabkan tidak meratanya akses untuk menikmati kue pembangunan, informasi dan tegasnya reformasi menuju demokratisasi tidak segera terwujud. Indikasi ke arah itu amat jelas. Lambannya reformasi juga disebabkan oleh minimnya orang terdidik yang mampu menjadi penggerak. Dalam bahasa yang sederhana tidak ditemukan orang yang sudah menep (baca = mengendap) untuk membawa perubahan di negeri ini.
Dalam tahun ajaran baru semacam pengelola pendidikan, yayasan dan pemerintah mesti memberikan perhatian kepada kaum miskin. Ketiadaan akses memperoleh pendidikan justru akan memperuncing kesenjangan sosial yang sampai kapan pun akan mengundang kerawanan sosial bagi kehidupan bersama.
* Penulis, Ketua Pelaksana Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang. (Suara Pembaruan 270701)
NUKILAN: "ZEITGEIST" PENDIDIKAN
Oleh:
Conny Semiawan
Gejala
kritis pendidikan yang terkait dengan kecenderungan negatif yang melanda negeri
kita sebagai akibat globalisasi adalah bahwa pendidikan dijadikan sebagai arena
bisnis terutama untuk meningkatkan penghasilan, bukan untuk meningkatkan
kreativitas pembelajarannya.
Persaingan
ketat dalam dunia bisnis yang menjurus ke arah rivalitas yang negatif dengan
berbagai dampaknya merasuk juga dalam Zeitgeist dunia sekolah. Situasi
kompetitif memperlihatkan bahwa pelaku bisnis bukan menganggap sesamanya
sebagai sejawat seperjuangan dalam mencapai suatu kondisi kehidupan ekonomi
yang sehat, melainkan pelaku bisnis beranggapan bahwa rekan bisnis adalah
saingan (rival) yang harus ditaklukkan.
Ekses
seperti ini dampaknya dapat kita amati dalam dunia muda-mudi, di mana bukan
saja pelajar SMU, melainkan juga mahasiswa tawuran menjadi fenomena yang kritis
dalam kehidupan sehari-hari. Eliminasi terhadap kecenderungan rivalitas yang
sifatnya negatif ini harus beranjak dari suatu refleksi terhadap akibat yang
menjadi dampak dari perkembangan yang menyimpang (deviant) dari seluruh
masyarakat kita.
Terlebih
lagi, peradaban baru (era ke-4, setelah era agraris, era industri, dan era
informasi) kini ditandai oleh respiritualisasi masyarakat yang ditandai oleh
kecenderungan akan kerja sama (Cooperation, Maynard, 1997)
Dengan
sering mengabaikan kualitas pembelajaran, pengaruh dari sikap dan ciri
penyelenggaraan pendidikan yang masih ditandai oleh ciri-ciri rivalitas yang
tidak sehat ini akan berdampak luar biasa pada anak-anak kita (yang berada
dalam tahap perkembangan kritis), dan sedang dalam fase mencari identitasnya,
mendudukkan diri antara situasi aktual dan situasi ideal.
Pengaruh
negatif dari luar dinding sekolah ditambah pula oleh orientasi pembelajaran
yang ditandai oleh ciri alienatif karena keterasingan pebelajar dari proses
belajar yang sesungguhnya.
Hal
ini terutama berkait dengan proses belajar yang bersifat satu arah, di mana
dosen ataupun guru mempertanggungjawabkan body of material secara sepihak. Si
pebelajar secara dominan bersifat pasif karena pengajar mengalirkan sejumlah
ilmu kepadanya, ibarat suatu bejana yang airnya dituangkan dari luar ke dalam
dirinya.
* Penulis adalah
doktor kependidikan, Guru Besar pada Program Pascasarjana Universitas Negeri
Jakarta, dan Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Nukilan dari "Membuka Masa Depan Anak-anak Kita" hal. 23.
Penerbit PT Kanisius, 2000.
Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan
Onno
W. Purbo
Dalam kondisi krisis moneter dengan kompetisi bebas di ambang
pintu, ada baiknya kita berfikir sejenak
tentang kondisi dan pengkondisian Sumber Daya Manusia yang ada di Indonesia.
Sudah siapkah kita? Mengertikah kita?
Tulisan ini akan mengupas beberapa pergesaran mendasar &
drastis paradigma dunia pendidikan karena perkembangan pesat di teknologi
informasi khususnya Internet yang pada akhirnya mempercepat aliran ilmu
pengetahuan menembus batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemapanan dan waktu.
Kita perlu menyadari bahwa di Internet bukan hanya ilmu pengetahuan yang dapat
di transmisikan pada kecepatan tinggi akan tetapi juga data dan informasi.
Kemampuan untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisi, mensintesa data menjadi
informasi kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat sangat penting
artinya.
Beberapa referensi contoh terobosan bidang ini khususnya
pembentukan Academic Information Infrastructure (AII) yang akan
bermanfaat untuk di telaah adalah www.ngi.gov,
www.internet2.edu, www.vbns.net, www.startap.net,
www.canarie.ca, www.cise.nsf.gov/anir/nsfnet.html
Prasyarat lain yang akan mempercepat pergeseran paradigma dunia
pendidikan adalah kompetisi bebas, free trade dan hilangnya monopoly.
Kemungkinan prasyarat ini yang akan menghambat di Indonesia karena lambatnya
adopsi kompetisi bebas di Indonesia. Akan tetapi saya yakin, cepat atau lambat
dan mau tidak mau kompetisi bebas akan berjalan di Indonesia karena desakan
dunia global. Bagi kami yang bergerak & betul-betul hidup mengambil manfaat
dalam dunia informasi berbasis Internet, sebetulmnya kompetisi bebas &
perdagangan bebas telah beberapa tahun ini kami nikmati - bahkan resesi ekonomi
belum terlalu parah dirasakan. Mudah-mudahan hal ini dapat menggugah sedikit
sebagian dari kita yang belum mengambil manfaat maksimal dari Internet.
Beberapa
konsekuensi logis percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem
pendidikan konvensional yang selama ini berjalan antara lain adalah:
Sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga
pendidikan formal yang konvensional. Akan tetapi sumber ilmu pengetahuan akan
tersebar dimana-mana & setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan
tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence
(distributed knowledge). Fungsi guru / dosen / lembaga pendidikan akhirnya
beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dari ilmu
pengetahuan tsb. Proses long life learning dalam dunia informal yang
sifatnya lebih learning based daripada teaching based akan menjadi kunci
perkembangan SDM. Web, Homepage, Search Engine, CD-ROM merupakan alat bantu
yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge ini berkembang.
Ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak
pemikiran yang sifatnya konsensus bersama. Pemahaman akan sebuah konsep akan
dilakukan secara bersama. Guru / dosen tidak lagi dapat memaksakan pandangan
& kehendaknya karena mungkin para siswa / mahaiswa memiliki pengetahuan
yang lebih dari informasi yang mereka peroleh selama ini. Keadaan ini dikenal sebagai generation lap
(kebalikan dari generation gap). Proses interaksi elektronik,
diskusi melalui berbagai Internet mailing list, newsgroup, IRC, Webchat
merupakan kunci proses pembentukan collective wisdom ini. Yang menarik
disini adalah dari sisi kurikulum, tidak akan pernah terjadi kurikulum resmi
yang rigid - kurikulum akan selalu berubah beradaptasi dengan berbagai
perkembangan sesuai dengan collective wisdom yang diperoleh dari waktu ke
waktu.
Akreditasi, Sertifikasi, pengakuan akan lebih banyak di tentukan
oleh masyarakat profesional. Dengan kata lain
masyarakat profesional yang akan menjadi penilai (quality control)
dari lembaga pendidikan yang ada. Kontrol dilakukan dari kemampuan para alumni
sehingga setiap lembaga pendidikan /
dosen / guru secara individual akan di nilai langsung oleh masyarakat
profesional. Sebagai contoh, di ITB dikembangkan untuk sertifikasi komputer
profesional untuk sertifikasi MCP, MCSE, MCT bekerjasama dengan Microsoft yang
merupakan bagian dari program AATP yang sifatnya lebih profesional daripada
sekedar kurikulum formal pendidikan biasa. Pengembangan konsep ini ke berbagai
lembaga lainnya sangat terbuka untuk bekerjasama dengan program AATP
Microsoft-ITB. Track record, Curriculum Vitae, Resume, referensi
merupakan senjata yang jauh lebih penting & ampuh daripada sekedar ijasah
resmi dari lembaga pendidikan. Dengan adanya sertifikasi yang sifatnya global
& internasional ini, konsekuensi yang menarik adalah seseorang dengan
sertifikat global ini dapat bekerja dimana saja (tidak tergantung batas negara
lagi). Hal ini merupakan tantangan yang berat bagi konsep-konsep lama di
lembaga pendidikan formal, ujian negara bagi PTS dan Badan Akreditasi Negara
(BAN). Konsep kompetisi perlu dikembangkan bagi dunia pendidikan, jadi BAN
sebaiknya berfungsi sebagai lembaga untuk melakukan penilaian (rangking) bagi
masing-masing lembaga pendidikan.
Training for trainers,
tingkat kenaikan jenjang dosen merupakan fokus yang perlu diperhatikan dengan
pergeseran paradigma ini. Lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara
periodik bagi guru & dosen-nya jika ingin tetap memimpin di dunia
pendidikan. Kegagalan dalam investasi guru & dosen akan berakibat kalah
dalam persaingan merebut mahasiswa terbaiknya. Insentif bagi guru / dosen untuk
mendidik diri sendiri bukan datang dari jalur struktural / jabatan; juga bukan
dari jenjang kepangkatan tradisional (asisten ahli, lektor, guru besar) yang
rigid. Reward yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan yang
diberikan langsung oleh masyarakat. Bayangkan secara sederhana, betapa
memalukannya jika ada seorang Profesor / Lektor yang ternyata bahasa Inggrisnya
patah-patah & belum pernah menulis pada jurnal internasional. Akhirnya
semua kembali kepada masyarakat profesional yang akan menilai kualitas
sebenarnya seseorang.
Setelah mengetahui perubahan yang mendasar dari paradigma ini, apa
yang perlu & bisa kita lakukan
sebagai bangsa Indonesia?
Terus terang pendapat saya pribadi sebagai orang Indonesia akan
sangat sederhana yaitu mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan yang
semakin terbuka untuk memperoleh ilmu pengetahuan & sertifikasi profesioanl
ini untuk kebaikan nasib kita masing-masing. Pendidikan formal bukan lagi
satu-satunya media untuk mengembangkan diri, karena ilmu pengetahuan dapat
diperoleh dari mana saja. Sertifikasi & akreditasi-pun sebetulnya dapat
diperoleh dari mana saja. Bahasa Inggris akan menjadi salah satu aset yang
sangat penting untuk dapat mengakses sumber ilmu yang terdistribusi dan menjadi
rantai dalam collective wisdom ini. Selain berbahasa Inggris, kemampuan untuk
membaca, mencerna dan menulis (menghasilkan) informasi / pengetahuan dengan menggunakan
teknologi informasi (Internet) akan sangat strategis untuk dapat memperoleh
keuntungan & manfaat yang besar dari keberadaan teknologi informasi.
Akan tetapi perlu di hayati bahwa kompetisi akan cukup ketat untuk
memperoleh akreditasi & sertifikasi terbaik. Kerja keras & kerjasama
kemitraan strategis dalam sebuah kelompok akan sangat menentukan keberhasilan
kita dalam menentukan keberhasilan kita dalam penetrasi pasar. Belajar dari
kuliah di kelas saja tanpa mempunyai visi & kemauan yang kuat untuk bertempur
di dunia profesional tidak akan cukup. Aktif dalam dunia & kegiatan
mahasiswa, maupun membantu kelompok-kelompok penelitian yang ada di
masing-masing lembaga pendidikan akan sangat membantu membentuk kemampuan
kompetisi yang tangguh. Sayang konsep NKK / BKK yang dulu sempat di canangkan
& juga program percepatan Insinyur akhirnya banyak menghalangi mahasiswa
dalam memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dalam berkompetisi bebas.
Bagi dunia pendidikan,
skala ekonomi akan dapat dengan mudah dikembangkan dengan bertumpu pada
teknologi informasi beberapa strategi mendasar yang akan membantu antara lain
adalah:
Membuka aliansi kerjasama dengan berbagai universitas / dosen
terbaik yang ada baik di Indonesia maupun di manca negara. Konsep aliansi untuk
kerjasama pendidikan jarak jauh perlu dikembangkan & di encourage oleh
DEPDIKBUD. Jangan sampai terjadi kesan "monopoli" bagi
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh hanya oleh Universitas Terbuka (UT) saja.
Berikan akses Internet bagi mahasiswa, penggunaan konsep warung
Internet yang sifatnya self-finance akan sangat menguntungkan bagi investasi
& operasional warung tersebut. Akhirnya mahasiswa & lembaga pendidikan
yang akan di untungkan. Terus terang, dalam bisnis plan maka modal / investasi
sebuah warung Internet dengan 5-10 komputer di sebuah universitas dengan sebuah
saluran telepon ke Internet akan kembali dalam jangka waktu 8-12 bulan saja. Jadi pendekatan warung
Internet akan menjadi sangat menarik, kunci keberhasilan berada pada kemampuan
teknik & management SDM yang menjalankan warung tsb. Raanya tidak banyak
yang mempunyai kemampuan ini, umumnya orang yang ahli di dunia pendidikan
berada di institusi yang terkait ke Internet ITB, seperti UNSYIAH, UNILA,
UNTAN, UMM, UNSOED, UKSW, dll.
Lakukan kerjasama periodik untuk melakukan seminar / workshop /
training / pendidikan paska sarjana bagi dosen maupun civitas akademik yang ada
supaya tetap pada ujung tombak ilmu pengetahuan.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan masukan bagi
dunia pendidikan di Indonesia pada khususnya dan juga masyarakat umum pada
umumnya.
Onno
W. Purbo, Institut Teknologi Bandung.
Sekolah Terpadu, Pesantren
Elit, Pesantren Bersahaja
"Satu
dari empat mahasiswa UI adalah tamatan bimbingan belajar (bimbel) Nurul
Fikri," demikian bunyi iklan di koran nasional pada 1997. Tahun-tahun
sebelumnya, berturut-turut hasil survey ini adalah satu banding lima, enam dan
tujuh.
Sejak
berdiri tahun 1985 lalu, hingga kini NF telah mencetak ribuan siswa-siswa SMU
yang telah menembus berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN), terutama UI.
"Survey itu bukan dusta, sebab secara moral bertentangan. Apalagi NF
lembaga Islam," jelas ketua Yayasan Nurul Fikri, Fahmi Alaydrus kepada
Sahid.
Kesuksesan NF di jalur bimbel dan kursus
tersebut menantang mereka untuk merambah ke sekolah formal. Tahun 1992
didirikanlah TK dan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang menerapkan sistem full
day school (belajar hingga sore) untuk pertama kalinya. Hasilnya cukup
menggembirakan. Tak kurang 60 SDIT se-Jawa di bawah NF yang bergabung dalam
Forum Silaturrahmi SDIT (Forsil SDIT) mengembangkan model NF.
Sekolah
unggulan
Nurul Fikri tidak sendirian. Setelah
kondisi umat Islam semakin membaik, di beberapa kota besar muncul
sekolah-sekolah berbasis Islam yang cukup bonafide, misalnya Perguruan
Islam Al Azhar (PIA). Sekolah Islam yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta.
Didirikan Buya Hamka sekolah yang berlokasi di Masjid Al Azhar ini, kini
menjadi simbol kelas menengah kota. Mulai TK, SD, SMP hingga SMU ada di sini.
Al Azhar memiliki fasilitas yang cukup memadai bagi 10 ribu siswa.
Di tingkat SMU muncul juga beberapa sekolah
Islam yang bermutu. Misalnya saja ada SMU (Plus) Muttahari, Bandung, yang
didirikan oleh Jalaluddin Rahmat, pakar komunikasi Indonesia. Juga Madania Boarding
School, Bogor, dan SMU Al Azhar Boarding School, Karawaci, Bekasi.
Selain pelajaran umum, SMU (Plus) Mutahhari
juga memberi pelajaran dirasah Islamiyah mencakup: Ulumul Quran, Ulumul Hadits,
Ushul Fiqh, dan Fiqh Perbandingan Mazhab, serta Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
SMU Madania Boarding School didirikan
Yayasan Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid juga memadukan sistem pendidikan
umum dan pesantren. Semua siswa diasramakan layaknya pondok pesantren di
Indonesia. Sekolah yang kepalai Dr Komaruddin Hidayat ini menyediakan komputer
dan saluran telepon yang langsung online ke setiap asrama.
Yang agak istimewa, SMU Al Azhar Boarding
School, Karawaci, Bekasi. Meski namanya sama, SMU ini tidak ada hubungan dengan
Al Azhar yang di Kebayoran Baru. Menempati lahan seluas 2 hektar, sekolah ini
memang agak elit. Selain lokasinya di kawasan elite Lippo City Cikarang,
kualitas sekolahnya bertaraf internasional. Mulai fasilitas laboratorium, olah
raga seperti tenis, sepak bola, basket, dan kolam renang bertaraf
internasional, juga disediakan fasilitas biliar. Tiga tahun lalu, 1997, uang
masuk di sekolah ini mencapai 20 juta dengan uang bulanan 850 ribu.
Pesantren
Masih Menjadi Pilihan
Selain SMU ada juga pesantren-pesantren
yang cukup baik. Antara lain; PP. Gontor-Ponorogo, PP. Al Amien, Prenduan
(Madura), PP. Az Zaytun (Indramayu-Jabar) dan PP. Al Mukmien, Ngruki (Solo).
Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor
Ponorogo (Jatim) adalah salah satu pondok pesantren yang berkembang pesat
dengan 3.200 santri. Pondok yang santrinya dari seluruh Indonesia bahkan luar
negeri, antara lain Somalia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Australia ini
diasuh lebih 200 ustadz (guru), sebagian besar bergelar master luar negeri
seperti Mesir, Arab Saudi, Pakistan. Begitu besarnya peminat, dari sekitar 2
ribu sampai 3 ribu pendaftar di Gontor pertahunnya, yang diterima cuma 750 anak
saja.
Hampir mirip Gontor adalah Al Amien,
Prenduan, Madura. Dua pesantren ini bahkan telah mendapat pengakuan (mu'adalah)
dari sekolah luar negeri yang cukup terkemuka. Seperti; Jami'ah Islamiyah
Madina Al Munawwarah, Jami'ah Malik Abdil Aziz Makkah, International Islamic
University Islamabad Pakistan, Universitas Al-Zaytoun Tunisia dan Al Azhar
(Kairo).
Perguruan
Tinggi
Kemajuan sekolah-sekolah Islam ditandai
juga dengan hadirnya beberapa perguruan tinggi Islam yang cukup berkualitas. Di
Malang Jawa Timur ada Universitas Muhammadiyah Malang yang menempati tiga
lokasi. Selain mewah, juga dilengkapi ruang perpustakaan, laboratorium
komputer, jaringan internet (UMMNet), Masjid Ad Dakwah, laboratorium akuntansi,
laboratorium perbankan, poliklinik sampai language center.
Di Jakarta ada Universitas Paramadina Mulya
(UPM) yang dimotori cendekiawan muslim Nurcholish Madjid. Bersama Sudwikatmono
dan beberapa pengusaha, Nurcholis mendirikan UPM. Universitas yang menempati
gedung di tanah seluas 4,5 hektar di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Selatan dan
menelan dana sebesar Rp 400 milyar.
Kini, universitas yang baru membuka program
pasca sarjana (S2) program studi agama Islam ini bahkan telah menandatangani
piagam kerjasama dengan Curtin University of Technology (CUT) di Perth,
Australia Barat. (Cha)
"Menyoal Cita-Cita Pendidikan
Kerakyatan"
Sebuah Kritik Terhadap Pendidikan Nasional
(Sekretariat KBUI-Depok, Jumat, 2 Juni 2000).
Demonstrasi
mahasiswa menggugat keberadaan DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) dan
Otonomisasi UI versi Rektorat dalam cara Dies Natalis UI di Balairung UI-Depok,
2 Februari 2000, telah berhasil menggelembungkan masalah-masalah pendidikan
tinggi menjadi wacana publik di seluruh Indonesia, khususnya pada segmen
sivitas akademika maupun para pemerhatinya. Genap 4 bulan setelah aksi massa tersebut, beberapa
mahasiswa UI dipanggil oleh P3T2 (Panitia Penyelesaian Pelanggaran Tata-Tertib)
yang mengklaim telah diberi mandat oleh Rektor. Mereka yang dipanggil tersebut
adalah, Suma Mihardja, Mahawisnu Tridaya Alam, Dipo Asto Prayoga, dan Dhoho Ali
Satro, Lucky A. Lontoh dari FHUI; Kokom dari FTUI, dan Dewi dari FSUI. Dua
mahasiswa lain, Ai (FT) dan Erick (FS) yang kebetulan berada di sana untuk melihat acara
Dies Natalis, ternyata tak luput dari panggilan dan pemeriksaan juga.
Belajar
dari hal tersebut, kenyataanya pihak birokrasi kampus belum dapat menangkap
aspirasi yang diserukan oleh mahasiswa-mahasiswa UI, dalam konteks pendidikan
kerakyatan yang bisa membantu rakyat Indonesia untuk keluar dari krisis,
sekaligus menegakkan harga diri bangsa di mata dunia internasional. Lebih jauh
lagi, beberapa mahasiswa justru mendapatkan represi, intimidasi, dan pencabutan
bantuan finasiil dari birokrat kampus. Aspek pendidikan kerakyatan akhirnya
semakin menjauh dari perhatian di bawah tekanan dan nikmatnya fasilitas kampus.
Untuk itu kami menghadirkan diskusi terbuka ini untuk menghembuskan otoritas
pendidikan untuk rakyat yang emansipatoris dan berkeadilan sosial dalam dunia
pendidikan kita yang telah dipisahkan dari akar sosialnya pada era Orde Baru.
"Terus
terang gerakan mahasiswa sekarang kelelahan", ujar Reinhart Sirait,
Koordinator Departemen Hubungan Internasional Liga Mahasiswa untuk Demokrasi
(LMND), "… malah cepet lelah karena nggak ada tujuan".
"Sebenarnya politik mahasiswa bukanlah politik kacangan, tapi, kalau bisa
dibilang, politik kehilangan basis. Jadi ada jarak terhadap rakyat. Hal ini
bukan sekali ini terjadi tetapi terjadi dimana-mana", ujarnya lagi,
"hal ini tidak terpisah dari posisi mahasiswa dalam masyarakat yang
gamang, makanya politik mahasiswa juga politik gamang …. Bohong kalau kampus itu netral dan bebas
ideologi!", lanjutnya.
Diskusi
yang dihadiri oleh puluhan mahasiswa ini berjalan dengan suasana serius
meskipun sesekali diselingi tawa terutama ketika mendengar sejarah gerakan
mahasiswa di tempat lain, "Di Perancis, gerakan demokratisasi kampus
berawal dari tuntutan mahasiswa laki-laki untuk berkunjung ke mess mahasiswa
perempuan", ujaran ini tak luput membuat suasana diskusi menjadi ger.
"Artinya, jangan pernah menganggap remeh sebuah isu. Meskipun remeh temeh,
namun pada dasarnya setiap hambatan dan gejala sosial dalam kampus punya
potensi untuk mendorong demokratisasi kampus, sayangnya kita kurang perhatian
dengan masalah tersebut … nggak bener kalau isu di luar kampus lebih penting
dari yang di dalam kampus, justru harus ada koordinasi", aku Reinhart.
Sayangnya beberapa pembicara yang lain tidak dapat hadir jadi diskusi lebih
difokuskan pada ulasan sejarah gerakan mahasiswa dalam mengusung demokrasi.
"Dalam
konsep neo-liberal, istilah yang diperkenalkan sub-commandante Marcos dari
gerakan Zapatista di Mexico, bisa jadi nanti ada universitas seperti mall, tapi
hanya sedikit orang yang bisa ditampung. Ini sama dengan privatisasi. Dalam
esensi sesungguhnya, ada subsidi dan kompetisi dari negara ke sektor pendidikan
yang dihilangkan, Akibatnya pendidikan akan mahal. Tapi bagusnya, fasilitas
kampus akan ditingkatkan. Dengan demikian, sekolah makin selektif, dan orang
disaring menurut agaimana ia secara sosial dilahirkan. Gimana nasibnya
anak-anak Manggarai tuh? Makan aja susah. Lebih kacaunya lagi, kalau di negara
barat liberalisasi itu biasanya disertai dengan demokratisasi, tapi kalau di Indonesia ,
maunya liberal tapi nggak demokratis.", ujar Reinhart. "Sistem
kompetisi harus dihilangkan. Ini produk keji dari: Pendidikan kapitalisme, bisa
berbentuk ujian. Semuanya berhak untuk eksis. Kita satu kelas adalah satu
kolektif. Kalau ada standarisasi, khan ada mahasiswa yang kuliah jauh-jauh dari
Bogor ,
belajarnya gimana?", tambahnya.
Terus,
bisakah pendidikan gratis menciptakan manusia berkualitas? "Kalau dalam
kapitalisme pendidikan hanya jadi milik segmen tertentu. Hanya dengan gratis
rakyat bisa bangkit. Di Eropa yang banyak "welfare state",
universitas banyak yang kembali diprivatisasikan. Jadi privatisasi bukan
monopoli negara berkembang. Cuba
berpendidikan maju meski ekonominya diembargo, tapi pendidikannya gratis.
Ingat, pengganguran di Cuba
0%. Hampir semua orang sarjana. Angka buta huruf 0%, karena rakyat miskinya
disekolahkan. Kalau di sini orang nggak boleh pintar, orang pintar khan
nantinya bisa berontak", jawab Reinhart.
Perjuangan membangun sistem pendidikan
yang berorientasi pada pengembangan produktivitas dan pembangunan kualitas
bangsa Indonesia
bukanlah sebuah hal yang mudah. Kiranya dari diskusi ini kita dapat mengambil
banyak manfaat dari pengalaman bangsa lain juga dari para pembicara bahwa tidak
ada hal yang dicapai tanpa kerja konkrit, dan yang lebih penting adalah
cita-cita kita tentang pendidikan berjiwa kerakyatan bagi bangsa Indonesia
bukanlah sebuah impian, tetapi sebuah perjuangan yang harus dimenangkan..Beberapa
program mendesak yang menjadi agenda kerja kita harus terus diperjuangkan
walaupun dalam keadaan represif seperti ini. Momentum represi dan intimidasi
dari para birokrat kampus adalah cermin bahwa tidak adanya demokrasi dalam
dunia pendidikan Indonesia .
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori pendidikan
dengan judul PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://info-tentangpendidikan.blogspot.com/2012/10/pendidikan-tinggi-di-indonesia-dalam_21.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Minggu, 21 Oktober 2012
Belum ada komentar untuk "PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI"
Posting Komentar